Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Agus Siswanto
Ilustrasi menulis (Pixabay/StockSnap)

Bagi teman-teman yang berkecimpung dengan dunia tulis menulis, pasti akrab banget dengan  2 "benda" ini. Yah, ide dan mood. Sebab 2 hal ini yang bisa melahirkan sebuah tulisan yang keren. Idealnya, perkawinan antara keduanya dijamin pasti hasilnya keren. Ibarat 2 bibit unggul disatukan, maka yang lahir pasti bibit unggul juga.

Nah, jika disuruh memilih mana sih yang lebih penting, ide atau mood, pasti akan beragam jawaban yang ada. Masing-masing pendapat akan mengeluarkan argumen untuk menguatkan pendapatnya. Yang memilih ide, pasti akan mengatakan ide adalah nyawa sebuah tulisan.

Lain lagi dengan yang memilih mood. Mereka akan mengatakan mood adalah segalanya. Sebab mood adalah atmosfer ideal bagi seorang penulis. Adanya mood pada diri mereka membuat semuanya lancar jaya. Itu kata mereka.

Bagi saya sendiri, mood adalah segalanya. Logikanya dengan keberadaannya, maka insting kita dalam menulis pasti jalan, alias sinyalnya bagus. Dalam artian, apa saja yang melintas di depan kita bisa jadi tulisan yang keren. Jari-jari kita akan menari dengan lancar di atas keyboard laptop atau pun gawai.

Sedangkan untuk ide sendiri, sebenarnya bukan masalah besar. Sebab sejatinya ide itu ada di sekitar kita. Kita tidak perlu ke mana-mana untuk mendapatkannya. Panca indera kita akan sangat membantu menemukannya. Apa yang kita lihat, dengar, rasakan, atau pun kita cium pasti dapat menjadi sebuah ide tulisan.

Percaya, kan! Coba saja kita lihat orang berkendara sembarangan, jadi ide. Mendengar teman kantor ngomongin orang lain, itu pun ide. Mencium bau tidak enak dari sebelah rumah, nah ini juga ide. Pokoknya banyak banget. Kita tinggal memungutnya, dan gratis lagi.

Lain halnya dengan mood. Barang satu ini tidak selamanya ada. Sebab mood sangat berkaitan dengan suasana hati. Saat hati galau atau banyak masalah, dijamin akan membuat kita kesulitan dalam menulis.

Sebagus apa pun ide yang kita miliki, ketika coba kita tuangkan dalam sebuah tulisan, rasanya garing. Ketika dibaca ulang, ada rasa tidak puas dengan tulisan kita.

Namun ketika mencoba lagi untuk merevisinya, tetap saja tidak memuaskan. Hal ini terjadi berkali-kali. Ujung-ujungnya tulisan yang hendak kita buat ambyar. Kalau pun jadi, ada kesan dipaksakan.

Suasana akan berbeda jika mood itu bersemayam di diri kita. Rasanya apa pun yang kita tulis, terasa renyah. Waktu yang kita butuhkan pun tidak terlalu lama. Keberadaan mood dalam diri kita tidak ubahnya sinyal gawai pas bagus. Pokoknya apa-apa lancar jaya.

Dengan melihat situasi semacam ini maka tidak ada salahnya jika kita selalu menjaga mood. Salah satu di antaranya adalah dengan meluangkan waktu untuk menulis, bukan menulis di waktu luang. Dengan membiasakan menulis, maka otak kita pun akan terlatih dengan baik. 

Agus Siswanto