Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sayyidah Maulidatul Afraah
Skuter listrik - ilustrasi subsidi motor listrik 2023. (Pixabay/Trinity_Elektroller)

Menurut kajian BCG (Boston Consulting Group, 2022), adanya proses transisi menuju kendaraan listrik dinilai dapat memberikan hasil yang signifikan bagi manfaat lingkungan. Hal tersebut dikarenakan kendaraan listrik sendiri mampu mengurangi emisi tahunan dari gas CO2 sebanyak 0,48 ton per kendaraan per tahun. Selain menjadi transportasi yang ramah lingkungan, inovasi teknologi kendaraan listrik ini juga menjadi transportasi yang memiliki biaya operasional dan pemeliharaan yang lebih rendah. 

Per November 2022, tercatat ada sebanyak 8 ribu mobil penumpang dan 25 ribu sepeda motor listrik di Indonesia. Namun apabila dibandingkan dengan target pemerintah, angka tersebut masih terbilang rendah yaitu hanya mencapai 2% pada mobil listrik penumpang dan 1,25% pada sepeda motor listrik. Padahal pemerintah menargetkan ada sebanyak 400 ribu mobil listrik penumpang dan 2 juta sepeda motor listrik pada tahun 2025.

Berdasarkan hasil kajian dari data Institute for Essential Services Reform (IESR) Tahun 2022, Indonesia memiliki ekosistem kendaraan listrik yang belum berkembang dengan baik apabila dibandingkan dengan 3 Top Negara dengan tingkat adopsi kendaraan listrik tertinggi (Norwegia, Amerika Serikat, dan China).

Hal tersebut dibuktikan dengan masih terbatasnya infrastruktur pengisian kendaraan listrik yang ada. Belum berkembangnya ekosistem tersebut menyebabkan munculnya masalah ketidaknyamanan dan kecemasan dari pengguna ketika hendak melakukan aktivitas berkendara dengan jarak cukup panjang. 

Menurut kajian, ada lima aspek penyusun ekosistem kendaraan listrik, di antaranya (1) Infrastruktur pengisian; (2) Supply dan model kendaraan listrik; (3) Kesadaran dan tingkat penerimaan masyarakat; (4) Supply chain komponen dan baterai kendaraan listrik; (5) Insentif dan dukungan kebijakan dari pemerintah.

Dua di antara aspek-aspek tersebut memiliki pengaruh langsung dalam memenuhi kebutuhan jangkauan mobilitas bagi konsumen. Pertama, aspek infrastruktur pengisian yang memenuhi kebutuhan energi ketika berkendara. Di mana, ada dua jenis infrastruktur pengisian umum di Indonesia sesuai Permen ESDM No 1 tahun 2023 yaitu SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) dan SPBKLU (Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum). Kedua, aspek model dan supply kendaraan listrik yang dapat berupa besarnya kapasitas baterai yang mendukung kinerja kendaraan listrik untuk dapat menempuh jarak tertentu.

Kedua aspek tersebut menimbulkan adanya dilema dalam menentukan strategi bisnis dengan investasi yang paling efisien untuk menjawab permasalahan yang ada.

Pertama, pengguna dengan mobilitas tinggi yang berkendara jarak jauh, jika kehabisan energi akan berhenti untuk melakukan pengisian energi baterainya. Maka dalam skenario ini, memerlukan penyediaan infrastruktur pengisian dengan jarak yang cukup dekat. Besarnya biaya investasi dari skenario ini sebagian besar akan dibebankan pada penyedia infrastruktur pengisian. Sedangkan pengguna hanya dibebankan pada biaya operasional pengisian.

Dalam hal ini, ada dua jenis infrastruktur pengisian yang dapat dipertimbangkan yaitu SPKLU dan SPBKLU. Proses pengisian pada SPKLU cenderung lebih lama yaitu antara 1-3 jam. Sedangkan pada SPBKLU hanya membutuhkan waktu pengisian selama 3-5 menit karena hanya perlu melakukan penukaran baterai. Namun, kekurangan dari infrastruktur SPBKLU ini adalah belum menerapkan interoperability antar merek dari sepeda motor yang ada. Sehingga, satu jenis SPBKLU hanya dapat menukarkan baterai dari satu jenis sepeda motor listrik.

Kedua, skenario memperbesar kapasitas baterai menjadi 2-3 kali lipat dari kapasitas biasanya menjadi salah satu solusi memperbesar jarak tempuh kendaraan tanpa harus melakukan pengisian ulang ditengah perjalanan. Namun, kapasitas baterai yang diperbesar akan berdampak pada meningkatnya harga pokok produksi yang berpengaruh langsung pada besarnya harga jual yang dibebankan pada konsumen. 

Maka, diperlukan adanya suatu kajian untuk membandingkan manfaat biaya antara dua skenario yaitu redesain teknologi baterai atau meningkatkan infrastruktur pengisian SPKLU dan SPBKLU dengan jarak yang lebih dekat. Skenario yang memiliki biaya paling efisien diharapkan dapat menjadi dasar dalam memilih opsi investasi dalam membuat strategi bisnis antara keduanya. 

Menilai perbandingan manfaat biaya antara beberapa investasi dalam jangka panjang tersebut dapat menggunakan model biaya tahunan atau sering dikenal dengan model Equivalent Annual Cost (EAC). Pada kasus ini, model Equivalent Annual Cost dapat menjadi dasar dalam menilai investasi dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pengguna dan penyedia infrastruktur. Sehingga, dapat dicari titik temu optimal dalam menentukan strategi bisnis yang memberikan keputusan win-win solutions dari kedua pihak. 

Perhitungan tersebut dinilai cukup penting, karena dapat menjadi salah satu acuan dalam mendorong penumbuhan bisnis penyediaan infrastruktur berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 1 Tahun 2023. Jika Permen ESDM mampu membuka ruang untuk setiap sektor untuk berbisnis dan menunjukkan investasi secara layak, maka besar kemungkinan adanya harapan dari percepatan pembangunan infrastruktur pengisian kendaraan listrik ini.

Oleh sebab itu, Model Equivalent Annual Cost menjadi bagian penting dalam memilih peluang bisnis dalam pembangunan infrastruktur yang ada. Maka, dengan adanya strategi bisnis yang tepat, dilema berkendara jarak jauh dengan sepeda motor listrik dapat terjawab sekaligus mendobrak Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik sesuai Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019.

  • Prof. Dr. Wahyudi Sutopo, S.T, M.Si, IPU Kadiv Hubungan Industri dan Komersialisasi PUI Baterai Lithium UNS 
  • Sayyidah Maulidatul Afraah, S.T mahasiswa Magister Teknik Industri/Asisten Peneliti PUI Baterai Lithium UNS

Sayyidah Maulidatul Afraah

Baca Juga