Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | M. Fuad S. T.
Selebrasi Arkhan Kaka selepas menjebol gawang Panama (pssi.org)

Sebuah kabar bahagia datang dari pemain muda berbakat Skuat Garuda, Arkhan Kaka dan beberapa rekannya di Timnas Indonesia kelompok umur. Di masa jeda kompetisi Liga 1 Indonesia, andalan lini penyerangan Timnas Indonesia di Piala Dunia U-17 tersebut dikukuhkan menjadi abdi negara.

Menyadur berita yang dilansir laman Suara.com (30/6/2025), pemain berusia 17 tahun milik Persis Solo tersebut secara resmi menjadi anggota TNI dengan pangkat Sersan Dua (Serda). Bukan hanya Arkhan Kaka, pada momen bahagia tersebut, dua rekannya di Timnas Indonesia U-17, yakni Iqbal Gwijangge dan Ikram Al Gifari juga turut serta beralih status dari warga sipil menjadi aparat negara.

Sejatinya, keputusan Arkhan Kaka, Iqbal Gwijangge, dan Ikram Al Ghifari untuk menjadi aparat negara bukanlah sebuah hal yang baru dalam persepakbolaan Indonesia. Sebelum tiga penggawa masa depan Timnas Indonesia ini, sudah ada nama-nama beken yang memutuskan untuk menjadi abdi negara, seperti Muhammad Hargianto, Dimas Drajad, atau Abduh Lestaluhu.

Memang, hal itu bukan sebuah keputusan yang salah. Karena meskipun mereka "nyambi" menjadi aparat negara, baik itu di kepolisian maupun di satuan TNI, mereka masih memiliki hak dan kebebasan untuk berkarier di persepakbolaan profesional.

Namun, jika kita telisik, fenomena seperti ini juga menunjukkan sebuah sisi negatif akan profesi yang satu ini. Hinggapnya para pemain profesional bahkan berlabel Timnas ke pekerjaan sebagai abdi negara, juga seolah menunjukkan bahwa profesi sebagai pesepakbola profesional di negeri ini, belum sepenuhnya menjanjikan, terutama ketika mereka menapaki masa tua.

Kita harus mafhum bahwa sepak bola adalah sebuah pekerjaan yang penuh dengan resiko. Ibarat kata, mereka mengandalkan anggota tubuh dan fisik mereka untuk mencari penghasilan, sehingga ketika kedua hal tersebut mengalami masalah, maka sudah pasti pemasukan yang mereka dapatkan pun akan bermasalah pula.

Dan hal inilah yang belum sepenuhnya terjamin dalam persepakbolaan Indonesia. Banyak pemain yang ketika menderita cedera berkepanjangan, hanya mendapatkan perhatian yang minim dari pihak klub, atau bahkan diputus kontrak meskipun ketika aktif bermain telah mengerahkan segala upayanya untuk kejayaan tim yang dibelanya tersebut.

Atau ketika pemain menapaki usia tua, di mana mereka tak lagi produktif dan hanya mengandalkan tabungan-tabungan yang mereka miliki ketika menjadi pemain aktif di lapangan hijau. Iya jika mereka bisa mengelolanya dengan benar dan bijak, bagaimana jika terjadi salah pengelolaan pemasukan yang mereka dapatkan dulu? Tentu kehidupan masa tuanya tak bisa terjamin bukan?

Fakta-fakta minor seperti inilah yang pada akhirnya membuat para pemain sepak bola profesional tergoda dan memutuskan untuk mendua. Dengan masa produktif pesepakbola yang relatif singkat, yang mana kebanyakan gantung sepatu di usia 30an tahun, tentu mereka membutuhkan jaminan yang benar-benar bisa memberikan mereka kehidupan saat sudah tak aktif lagi di lapangan hijau.

Terlebih lagi, dengan "nyambi" menjadi abdi negara, para pemain ini selain mendapatkan jaminan hidup di usia tuanya, rata-rata juga mendapatkan pemasukan yang relatif lebih besar, yakni dari klausul kontrak mereka sebagai pemain profesional, juga dari pemerintah karena statusnya sebagai abdi negara.

Seperti misal, Arkhan Kaka, Iqbal Gwijangge dan Ikram Al Ghifari, selain mereka mendapatkan nominal dari klub tempatnya bernaung, menurut laman dpjb.kemenkeu.go.id, mereka juga mendapatkan gaji pokok sebesar Rp2,2 juta dari profesinya sebagai TNI berpangkat Sersan Dua.

Semoga saja keputusan bergabungnya para pemain Indonesia dalam barisan abdi negara dengan masa depan terjamin ini tak lantas membuat mereka berleha-leha dan abai dalam berlatih ya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

M. Fuad S. T.