Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Novran Juliandri Bhakti
Ilustrasi Kota Yogyakarta (freepik/reezky11)

Mendekati tahun-tahun politik, diskusi dan perdebatan kritis selalu tersaji, baik di media konvensional, mapun media online. Tidak dapat dipungkiri bahwa, perdebatan panas akan selalu terjadi sebelum pemilihan dan setelah pemilihan umum berlangsung. Publikasi koran, televisi, radio, artikel ilmiah, hingga video YouTube sudah banyak membicarakan pertarungan politik. Baik itu kubu A maupun kubu B.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI merupakan lembaga atau intitusi dalam menyelenggarakan Pemilu di Indonesia. KPU memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga pemilihan umum tetap aman dan terlaksana, baik legislatif maupun eksekutif, baik di tingkat daerah hingga di tingkat pusat.

Pemilihan umum menjadi aksi nyata, bahwa demokrasi di negara tersebut berjalan dengan baik. Semua lapisan masyarakat wajib menjadi pemilih dan berpartisipasi dalam pemilihan umum, tanpa melihat latar belakang suku, agama, sosial, hingga ekonomi. Masyarakat harus menjadi pemilih aktif dan kritis, yang memilih berdasarkan visi misi dari paslon, bukan dari hadiah ataupun sogokan.

Kaum Marjinal Korban Politik Pasif

Namun fakta di lapangan sangat berbeda, masih banyak masyarakat memilih apatis dan dimanfaatkan suaranya oleh politisi yang menjadi paslon. Terlebih orang-orang yang tergolong ke dalam kaum marjinal, di mana kemiskinan mereka dimanfaatkan sebagai alat unuk memperoleh suara. Politisi tersebut tergabung ke dalam segelintir kelompok yang mampu menguasai jalannya politik.

Fenomena ini disebut sebagai politik oligarki. Menurut Winters (2013) dalam Suryani, dkk (2021: 176), tujuan utama dari kepentingan politik oligarki adalah mempertahankan kekayaan yang terkonsentrasi yang menyebabkan para oligarki memandang demokrasi sebagai ancaman. 

Dalam hal ini masyarakat seringkali dipandang sebagai ancaman, sehingga hampir selalu dianggap sebagai pihak yang pasif. Publik diarahkan untuk menerima hasil kebijakan yang dibuat oleh para penguasa, baik politisi maupun pebisnis yang tergabung ke dalam politik oligarki. 

Masyarakat sipil terutama yang tergolong kaum marjinal, selalu menjadi korban politik pasif oleh politisi dan keroco-kecoronya. Kelemahan mereka pada sektor ekonomi, dijadikan celah agar mereka mendapatkan suara pada saat pemilu. Politik uang atau juga dikenal dengan serangan fajar, merupakan dinamika politik yang terjadi di Indonesia. Di mana para politisi ataupun partai politik membagi-bagikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi suara pemilu.

Faktor Penyebab Politik uang

Menurut Fitriani, dkk (2019: 57 – 58), terdapat empat faktor penyebab terjadinya politik uang yaitu:

1.  Faktor keterbatasan ekonomi

Keterbatasan ekonomi selalu membuka peluang terjadinya politik uang di masyarakat. Kemiskinan membuat masyarakat berpikir secara rasional untuk memperoleh imbalan atas pengorbanan yang ia lakukan. Dalam hal ini, ia merelakan hak suaranya dipakai untuk paslon yang membayarnya.

2.    Faktor rendahnya pendidikan 

Rendahnya pendidikan tidak terlepas dari rendahnya faktor ekonomi. Akibat ekonomi yang terpuruk, tentu seseorang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga mempengaruhi pola fikir dan tingkah laku ketika melakukan sesuatu. Dengan pola fikir yang buruk, politik uang yang sudah jelas salah dianggap benar karena cenderung apatis.

3.    Faktor lemahnya pengawasan

Lemahnya pengawasan menitikberatkan kepada adaptasi individu terhadap peraturan yang mengawasi praktik politik uang, yang disebabkan oleh rendahnya pendididikan berpengaruh kepada pola fikir masyarakat, sehingga belum mampu memahami terkait peraturan pengawasan untuk mencegah terjadinya politik uang.

4.    Faktor kebiasaan

Masyarakat yang tidak tahu dan cenderung apatis, membuat praktik politik uang semakin langgeng di Indonesia. Dengan beragam modus dalam memberikannya, membuat masyarakat menjadi tergiur dengan politik uang. Hal ini terus berulang-berulang dalam perhelatan pemilu, jika terus dibiarkan akan menjadi kebiasaan dan dianggap normal. 

Dari empat faktor tersebut para politisi dan partai pengusungnya, melakukan berbagai cara untuk melakukan politik uang. Politik uang umumnya juga dikenal sebagai serangan fajar di Indonesia. Hal ini karena politik uang tersebut dilakukan pada subuh atau pagi hari, dengan memberikan uang yang sudah ada di dalam amplop. Tentunya dari empat faktor di atas, yang menjadi sasaran empuk oleh para oligarki tersebut adalah kaum marjinal.

Kondisi ekonomi yang sulit membuat kaum marjinal harus bekerja serabutan. Dengan pendapatan di bawah upah minimum rata-rata, membuat kaum marjinal sulit untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Menurut Sumarno (2017), membagi bagikan sembako menjadi salah bagian dari politk uang. Ingat pada pembahasan awal, bahwa politik uang adalah kegiatan memberikan uang atau materi lainnya oleh politisi atau partai politik. Jadi, dalam hal ini bagi-bagi sembako gratis juga termasuk ke dalam politik uang. 

Wajar saja, bila kaum marjinal tergiur dengan politik uang, apa lagi jika diberikan sembako gratis. Kehidupan dasarnya saja susah untuk dipenuhi. Penganan pokok seperti beras, gula, garam, cabe, dan lain-lainnya merupakan kebutuhan pokok atau dasar masyarakat.

Jadi dengan adanya sembako gratis, terpaksa atau tidak mereka mau saja untuk menerima dan menjadi pelaku politik uang. Jika masyarakat Indonesia masih belum sejahtera, maka kaum marjinal terus menjadi kaum yang tertindas dan menjadi korban politik pasif politisi.

Novran Juliandri Bhakti