Perempuan dan laki-laki adalah dua jenis kelamin yang eksis dalam populasi manusia. Secara biologis, terdapat perbedaan fisik dan fisiologis antara keduanya. Namun, perbedaan ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk membeda-bedakan perlakuan terhadap mereka.
Karena hampir semua orang memahami, perempuan dan laki-laki seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, berkarya, dan berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan.
Dampak Pembedaan
Ketika terjadi pembedaan terhadap perempuan dan laki-laki rentan menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi gender.
Sejarah telah mencatat begitu banyak contoh perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, baik dalam akses terhadap pendidikan, kesempatan kerja, maupun pengambilan keputusan. Hal ini telah menciptakan kesenjangan (gap) gender yang merugikan khususnya bagi perempuan dan juga masyarakat pada umumnya.
Hemat penulis, perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki tidak menentukan kemampuan, minat, atau potensi mereka. Setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya, memiliki keunikan dan bakatnya masing-masing.
Membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dapat dinilai sebagai menghambat perkembangan individu dan merugikan masyarakat ketika ingin menggali potensinya.
Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan, membatasi akses dan pilihan berdasarkan jenis kelamin menghambat perkembangan akademik dan profesionalitas perempuan. Mengabaikan potensi-minat individu hanya karena mereka tidak sesuai dengan stereotip gender bisa menghilangkan berbagai bakat yang dimiliki seseorang.
Oleh karena itu, perlu mendorong pendekatan inklusif dalam pendidikan yang memungkinkan setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya, bisa bebas mengeksplorasi minat dan bakatnya.
Perempuan dan laki-laki di dunia kerja
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 52,74 juta pekerja perempuan di Indonesia pada 2022. Jumlah itu setara dengan 38,98% dari total pekerja di dalam negeri.
Perempuan paling banyak bekerja sebagai tenaga usaha penjualan. Proporsinya tercatat mencapai 28,44% dari seluruh pekerja perempuan sepanjang tahun lalu.
Urutan selanjutnya ditempati oleh tenaga usaha pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan perburuan dengan proporsi sebesar 24,6%. Selanjutnya, 20,24% pekerja perempuan berprofesi sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan, dan pekerja kasar.
Proporsi pekerja perempuan yang menjadi tenaga profesional, teknisi, dan tenaga lain sejenis sebesar 10,53%. Kemudian, ada 9,05% pekerja perempuan yang menjadi tenaga usaha jasa.
Adapun sejumlah 6,2% pekerja perempuan sebagai pejabat pelaksana, tata usaha, dan sejenisnya. Sedangkan, proporsi pekerja perempuan yang menjadi tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan sebanyak 0,78%.
Sedangkan menurut analisis Indonesia.id, menyebutkan jika pekerja laki-laki paling banyak berprofesi sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan, dan pekerja kasar dengan proporsi sebesar 36,34%. Posisinya diikuti tenaga usaha pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan perburuan yang sebesar 29,83%.
Memiliki Peluang Sama
Satu hal yang kerap menjadi perbincangan di era digital seperti sekarang adalah tentang perlakuan yang adil dan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki juga dalam dunia kerja.
Kualifikasi dan kompetensi seharusnya menjadi penentu dalam pengambilan keputusan terkait pekerjaan, bukan jenis kelamin seseorang.
Ketika seseorang gagal memasuki dunia kerja hanya karena dilihat sebagai laki-laki atau perempuan sama saja telah melanggengkan ketidakadilan. Lebih jauh bisa disebut melanggar harkat dan martabat manusia.
Artinya, perilaku membedakan perempuan dan laki-laki dalam hal gaji, promosi, atau kesempatan karier merupakan bentuk ketidakadilan yang tidak hanya merugikan seseorang, tetapi juga organisasi yang bisa dianggap gagal memanfaatkan potensi pekerjanya.
Sebagai catatan penutup menurut penulis, upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif, setiap orang memiliki tanggung jawab memiliki pengetahuan yang melampaui perbedaan gender dan fokus pada potensi dan kontribusi individu.
Memperkuat pemahaman keadilan dan kesetaraan gender jangan dimaknai menghilangkan perbedaan, tetapi sebaliknya mengakui bahwa perbedaan bukanlah sebagai patokan untuk menilai kemampuan.
Baca Juga
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Idul Fitri dan Renyahnya Peyek Kacang dalam Tradisi Silaturahmi
-
Antara Pangan Instan dan Kampanye Sehat, Ironi Spanduk di Pasar Tradisional
-
5000 Langkah dan Satu Liter Bensin, Refleksi Tentang Ketidakadilan
-
Membincang Pertolongan Pertama pada Psikologis
Artikel Terkait
-
6 Startup Kecantikan Buatan Perempuan Indonesia yang Sedang Naik Daun
-
Kang Dedi Mulyadi Sebut Akan Berhentikan Pegawai Pemda Yang Sakiti Perempuan
-
Ragnar Oratmangoen Disemprot Ngobrol dengan Cewek Berhijab: Istri Lo Marah Loh!
-
Makeup Pengantin Perempuan Penuh Tato, Hasilnya Kayak Beda Orang
-
Kisah Pilu Bocah Laki-laki yang Jebloskan Ibu ke Penjara Karena Membunuh Adiknya
Kolom
-
Prahara Wacana Hapus Kuota Impor: Terkesan Reaktif dan Berbahaya!
-
Anak-Anak Tak Bisa Menunggu Hukum Sempurna untuk Dilindungi!
-
Sekolah adalah Hak Asasi, Namun Masih Menjadi Impian bagi Banyak Anak
-
Quiet Quitting Karyawan sebagai Bentuk Protes Kepada Perusahaan
-
Ketika Algoritma Internet Jadi Orang Tua Anak
Terkini
-
Masuki Fase Krusial, Bagaimana Aturan Kelolosan Babak Grup Piala Asia U-17?
-
3 Pencapaian Indonesia yang Bisa Bikin Malu Korea Selatan di AFC U-17, Pernah Kepikiran?
-
Kang Daniel Terjebak dalam Hubungan Cinta yang Menyakitkan di Lagu 'Mess'
-
Masuk Daftar Top Skor AFC U-17, Evandra Florasta Terbantu Kelebihan Mental Reboundnya
-
Zahaby Gholy, Pembuka Keran Gol Timnas U-17 dan Aset Masa Depan Persija