Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Wahyu Astungkara
Ilustrasi Raden Adjeng Kartini (Freepik/freepik.com)

Setiap bulan April, Indonesia tampaknya merayakan satu sosok yang tak pernah bisa lepas dari ingatan kita, R.A. Kartini. Dari sekolah-sekolah hingga kantor-kantor pemerintah, suasana Hari Kartini terasa begitu meriah.

Perempuan-perempuan mengenakan kebaya, bersanggul rapi, dan senyum ceria memenuhi panggung-panggung seremoni. Beragam perlombaan dan acara tematik pun mendadak bermunculan.

Semua terasa begitu semarak, seakan berputar di sekitar nama Kartini. Pernahkah kita merenung sejenak, apakah perayaan ini terasa seperti rutinitas kosong yang kehilangan makna sejatinya?

Kartini, perempuan yang lahir di zaman kolonial dan memperjuangkan hak pendidikan bagi kaumnya, kini cenderung dikenang dalam konteks seremoni tahunan yang tidak mengajak kita untuk merenungkan perjuangannya secara reflektif.

Kita merayakan Kartini dengan kebaya, bukan dengan sikap dan semangat yang Kartini bawa dalam surat-suratnya yang penuh keresahan. Sebagai bangsa, kita terlalu sering terjebak dalam simbol dan kostum, tetapi lupa bahwa perjuangan Kartini jauh lebih rumit daripada sekadar mengenakan pakaian adat.

Kartini, Perempuan yang Berani Menggugat

Saya pertama kali mengenal Kartini melalui buku pelajaran di sekolah dasar, di mana kalimat "Habis gelap, terbitlah terang" selalu menjadi kutipan yang akan selalu terngiang sepanjang hidup. Namun, saat membaca surat-surat Kartini di usia dewasa, saya mulai belajar memahami tentang arah perjuangannya.

Kartini merasa gelisah dengan ketimpangan sosial dan kehidupan yang dibatasi oleh tradisi yang mengungkung kaum perempuan. Dalam surat-suratnya, ia tidak hanya berbicara tentang pendidikan untuk perempuan, tetapi juga tentang ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan kebebasan berpikir.

Kartini menulis bukan untuk dikenang, tapi untuk menyuarakan apa yang dirasakannya—tentang penderitaan perempuan yang terkekang dalam sistem yang mengabaikan hak-hak perempuan. Kartini ingin didengar, bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama. 

Ironisnya, saat ini, peringatan Hari Kartini malah sering kali hanya menjadi panggung seremonial yang tidak menggugah kita alih-alih merenungkan perjuangan Kartini yang sesungguhnya. Hemat saya, Kartini tidak perlu membutuhkan perayaan yang mewah, namun, membutuhkan perubahan nyata yang menanggapi keresahan dan gagasannya.

Perjuangan Kartini di Era Digital 

Kni, peringatan Hari Kartini sering kali disambut dengan acara-acara besar yang lebih fokus pada simbol daripada substansi. Kita menyaksikan perempuan-perempuan tampil dalam lomba kebaya, sementara perjuangan yang sesungguhnya, seperti yang dilakukan Kartini, tidak pernah benar-benar mendapat ruang di tengah perayaan tersebut.

Saya menduga Kartini akan kecewa jika dia tahu bahwa namanya lebih sering digunakan untuk tujuan "iklan" potongan diskon belanja.

Di sisi lain, perjuangan yang sesungguhnya terus terjadi di pelosok negeri. Di desa-desa, rumah tangga, di komunitas-komunitas perempuan, ada Kartini-Kartini baru yang melanjutkan jejak perjuangan. Mereka adalah perempuan yang tidak tampil di depan publik, tetapi berani berbicara di ruang-ruang yang tidak tercatat sejarah.

Mereka adalah ibu-ibu yang berani menyuarakan pendapat di rapat desa, anak-anak muda yang mengampanyekan kesetaraan, dan perempuan yang berjuang agar tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Perubahan sejati kadang memang tidak datang dalam bentuk perayaan atau laporan di platform media. Justru hadir dalam obrolan-obrolan kecil yang membicarakan hak perempuan. Ia tumbuh di ruang-ruang diskusi, dalam tulisan-tulisan yang disebarkan di media sosial, atau bahkan dalam keberanian perempuan untuk menyuarakan ketidakadilan.

Menghidupkan Kartini dalam Kehidupan Sehari-hari

Jika Kartini hidup di zaman ini, mungkin saja akan memilih menulis di X atau membuat konten edukasi di platform digital. Ia akan lebih nyaman berada di ruang-ruang diskusi perempuan atau di tengah-tengah komunitas yang berjuang melawan ketimpangan. Ia akan menjadi suara bagi mereka yang tak punya kesempatan untuk berbicara di panggung besar.

Hari ini, menghidupkan kembali perjuangan dan semangat Kartini berarti keberanian untuk bersuara, menggugat ketimpangan, dan memperjuangkan hak setiap perempuan untuk hidup setara dan bebas dari segala bentuk penindasan.

Kartini adalah sikap, bukan hanya simbol. Perjuangannya terus berlanjut, dan kita—terutama generasi muda—memiliki tanggung jawab untuk melanjutkannya dalam cara kita masing-masing.

Sebagai penutup, perayaan Hari Kartini adalah momen yang seharusnya mengingatkan kita pada esensi perjuangan yang lebih besar daripada seremonial. Kartini adalah simbol emansipasi, tetapi semangat perjuangannya seharusnya hidup di dalam diri kita, bukan hanya di dalam acara-acara formal yang datang setahun sekali. 

Jangan sampai mengecilkan Kartini hanya dengan pakaian atau kata-kata indah di panggung. Karena, Kartini adalah inspirasi agar kita terus memperjuangkan kesetaraan, kebebasan, dan keadilan di ruang yang lebih nyata. Selamat Hari Kartini!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Wahyu Astungkara