Hari ini, Rabu (3/4/25), Pasar Kalibening, Banjarnegara, Jawa Tengah tampak sunyi. Lapak-lapak tertutup kain terpal, tak ada teriakan pedagang yang biasanya sibuk menawarkan dagangan. Mungkin karena masih dalam suasana Lebaran, para penjual lebih memilih bersantai di rumah sambil nyemil camilan dan bercengkerama dengan keluarga. Meskipun pasar sepi, jalanan di depannya tetap ramai oleh lalu-lalang orang yang melintas, entah menuju rumah saudara atau sekadar menikmati udara pagi.
Mata saya tiba-tiba tertuju pada sebuah spanduk besar yang terpampang di tembok pintu masuk pasar. Gambarnya sungguh mencolok. Semangkuk mi instan lengkap dengan paha ayam goreng yang tampak renyah dan menggugah selera. Namun, yang membuat saya berhenti sejenak bukan gambarnya, melainkan tulisan di bawahnya, "HIDUP SEHAT DIMULAI DARI MAKAN SAYUR DAN BUAH."
Sebuah ajakan yang terdengar mulia tetapi terasa menggelitik. Bagaimana tidak? Pasar tradisional adalah pusat dari segala bahan makanan, seperti sayur-mayur, buah-buahan, dan bahan pangan alami yang diklaim lebih sehat. Namun, justru di gerbangnya, terpampang iklan makanan instan yang terkenal dengan kandungan pengawet, perisa, dan kadar garam tinggi.
Saya memperhatikan orang-orang yang melintas di depan pasar. Beberapa tampak terburu-buru, mungkin ingin segera sampai di tujuan. Ada juga yang berjalan santai, menikmati suasana pagi yang masih cukup dingin. Tapi hampir tidak ada yang benar-benar memperhatikan spanduk itu. Seolah-olah pesan tentang hidup sehat dan kenyataan di lapangan adalah dua hal yang jarang bertemu, sekadar teori dan praktik yang berjalan di jalurnya masing-masing.
Realitas di Dapur Kita
Pasar boleh tutup hari ini, tapi spanduk itu akan tetap terpampang selama belum rusak atau diganti. Ia berdiri kokoh sebagai pengingat (atau justru sindiran?) bahwa dalam keseharian, kita sering kali dihadapkan pada dua pilihan besar: menjalani hidup sehat dengan makanan bergizi atau memilih yang praktis karena lebih mudah dan lebih murah.
Sebaiknya mana yang lebih sering kita pilih? Eh, kalau saya sih cenderung memilih yang praktis. Semangkuk mi instan dengan sepotong paha ayam goreng tentu lebih menggoda iman dibanding harus repot-repot mengolah sayur. Sayuran harus dicuci dulu, dipotong, disiapkan bumbu, lalu dimasak dengan penuh ketelatenan. Apalagi kalau dalam suasana pagi yang dingin, siapa yang tak tergoda dengan sesuatu yang hangat, gurih, dan siap saji dalam hitungan menit?
Makan Kenyang vs Makan Sehat
Memang ironis. Lha mau bagaimana lagi? Mungkin mi instan justru lebih jujur. Tak perlu embel-embel kampanye kesehatan, tak perlu jargon gizi seimbang. Ia bisa hadir di mana saja, baik di rak minimarket, warung kelontong, bahkan di kantin sekolah. Harganya lebih terjangkau, bisa dibeli kapan saja, dan yang paling penting, siap disantap tanpa perlu berpikir panjang.
Sementara itu, slogan hidup sehat terus dikumandangkan seperti kampanye. Tapi coba lihat sekeliling dengan jujur. Harga sembako naik terus, sayuran semakin mahal, buah-buahan kadang hanya jadi pajangan di meja ruang tamu. Hidup sehat itu baik, tapi hidup kenyang kayaknya lebih mendesak.
Mungkin, spanduk itu memang potret zaman. Sebuah refleksi yang menyedihkan bahwa di tengah tuntutan hidup serba cepat ini, kita semua tahu mana yang seharusnya baik untuk kita, tapi lebih sering memilih yang lebih mudah, lebih murah, dan lebih instan.
Jadi, setelah ini, saya mungkin akan mencari mi instan di warung makan terdekat. Terlepas setuju atau tidak terhadap keberadaan pilihan menu makan sehat atau instan seyogianya semua orang dapat memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selebihnya, jika terjadi dampak atas pilihan tersebut maka menjadi konsekuensi logis. Karena pada akhirnya, sehat memang penting, tapi kenyataan lebih sering berkata lain. Hehe, jangan dicontoh ya.
Baca Juga
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Idul Fitri dan Renyahnya Peyek Kacang dalam Tradisi Silaturahmi
-
5000 Langkah dan Satu Liter Bensin, Refleksi Tentang Ketidakadilan
-
Membincang Pertolongan Pertama pada Psikologis
-
Menyambangi Bukit Rhema dan Eksplorasi Perjalanan Spiritual di Gereja Ayam
Artikel Terkait
-
Uni Eropa Incar Pasar Indonesia di Tengah Tantangan Tarif Amerika Serikat
-
IHSG Bergejolak, Prabowo Sesumbar: Saya Tidak Takut dengan Pasar Modal
-
Harga Ayam, Beras, Hingga Bawang Merah Melonjak Tinggi Selama Ramadan-Lebaran
-
IHSG Kebakaran Jadi Trending, Warganet: Indonesia Terancam Krisis
-
Usai Trading Halt, Perdagangan IHSG Masih Merosot 8 Persen
Kolom
-
Prahara Wacana Hapus Kuota Impor: Terkesan Reaktif dan Berbahaya!
-
Anak-Anak Tak Bisa Menunggu Hukum Sempurna untuk Dilindungi!
-
Sekolah adalah Hak Asasi, Namun Masih Menjadi Impian bagi Banyak Anak
-
Quiet Quitting Karyawan sebagai Bentuk Protes Kepada Perusahaan
-
Ketika Algoritma Internet Jadi Orang Tua Anak
Terkini
-
Zahaby Gholy, Pembuka Keran Gol Timnas U-17 dan Aset Masa Depan Persija
-
5 Rekomendasi Buku untuk Belajar Mindfulness ala Orang Jepang, Wajib Baca!
-
Ulasan Lagu FIFTY FIFTY 'Perfect Crime': Cinta Gelap yang Memikat
-
Media Asing Turut Soroti Rekor Jumbo Usai Raup 1 Juta Penonton di Bioskop
-
Ulasan Novel Like Mother, Like Daughter: Pencarian di Balik Hilangnya Ibu