Pada awal April 2025, publik kembali diguncang oleh kabar dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM).
Profesor Edy Meiyanto (EM), akademisi senior di Fakultas Farmasi, dilaporkan telah melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswi dari berbagai jenjang pendidikan S-1 hingga S-3 sejak tahun 2023.
EM bukan orang sembarangan. Ia menjabat sebagai Kepala Laboratorium Biokimia Pascasarjana dan terlibat di Cancer Chemoprevention Research Center. Dua posisi yang tidak hanya bergengsi tapi juga makin memperkuat posisinya dalam kacamata relasi kuasa di bidang akademik.
Meskipun pangkat akademiknya terbilang mentereng, EM diduga kuat telah melakukan kekerasan seksual dalam berbagai bentuk; sentuhan fisik tanpa persetujuan, pemaksaan, dan manipulasi dengan dalih "kedekatan akademik".
Apa yang terjadi di UGM bukanlah kasus pertama, dan tentu bukan yang terakhir. Hal ini adalah cermin dari betapa terakarnya masalah kekerasan seksual di dunia pendidikan tinggi (universitas).
Kasus ini seperti menguak fakta bahwa kampus yang selama ini digambarkan sebagai ruang belajar pertumbuhan intelektual, ternyata menyimpan "ledakan" luka bagi sebagian mahasiswa, terutama yang mengalami kekerasan seksual.
Relasi Kuasa dan Kekerasan
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam kasus ini adalah bagaimana relasi kuasa bekerja. Kekerasan seksual di kampus jangan hanya dimaknai sebagai tindakan menyimpang individu, tetapi perlu juga dilihat tentang bagaimana sistem yang memungkinkan pelaku dengan jabatan tinggi merasa tak tersentuh.
Dalam banyak kasus, relasi dosen-mahasiswa yang cenderung timpang membuat mahasiswa merasa sulit menolak, takut melapor, apalagi melawan.
Tidak sedikit korban yang akhirnya memilih tutup mulut karena takut nilai akademik mereka terancam, khawatir tidak dipercaya, atau malah justru disalahkan atas kejadian tersebut.
Sudah terlalu banyak stigma yang dialami para korban kekerasan seksual. Jika ini yang terjadi, penulis khawatir jika hal ini merupakan bentuk kekerasan struktural yang tidak kasat mata, namun sangat nyata dampaknya.
Oleh karena itu, seyogianya kita tidak melihat peristiwa ini hanya dari sisi hukum atau administrasi semata, tetapi sebagai momentum untuk melakukan refleksi kritis terhadap bagaimana sistem pendidikan kita yang cenderung menempatkan beban pada korban alih-alih mengadili pelaku.
Pelindungan terhadap Korban
Pihak UGM memang telah menindaklanjuti laporan dugaan kekerasan seksual tersebut dengan membebastugaskan EM dan melibatkan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang telah dibentuk sebelumnya. Apakah hal ini dianggap sudah cukup?
Hemat saya, korban perlu didengarkan, dilindungi, dan dipulihkan secara komprehensif; baik secara psikologis, akademik, maupun sosial.
Keamanan mereka harus dijamin, bukan hanya dengan merahasiakan identitasnya, tetapi juga dengan memastikan mereka tidak lagi mengalami intimidasi, diskriminasi, atau reviktimisasi dari lingkungan kampus dan masyarakat.
Sering kali, narasi publik hanya fokus pada status pelaku, seolah-olah beban ada pada reputasi institusi yang dianggap tercoreng. Padahal, yang lebih penting untuk kita pikirkan adalah bagaimana luka korban akan dipulihkan? Apa jaminan bahwa kasus serupa tidak akan terulang?
Transformasi Budaya di Kampus
Sudah saatnya kampus tidak hanya menjadi tempat pengembangan intelektual, tetapi juga ruang aman yang menjunjung tinggi martabat dan hak asasi setiap individu, baik kelompok rentan seperti perempuan, penyintas kekerasan, dan mereka yang berada dalam posisi subordinat.
Kekerasan seksual tidak terjadi dalam ruang hampa. Terkadang justru disuburkan oleh budaya-sistem patriarki, relasi yang timpang, dan sistem yang terlalu lama menormalisasi "kekuasaan akademik". Inilah yang tampaknya perlu diubah secara struktural, dan tidak serampangan.
Perlu ada komitmen yang serius dari institusi pendidikan tinggi untuk membangun sistem pengaduan yang aman, pendampingan korban yang ramah gender, dan sanksi tegas bagi pelaku, tanpa kompromi.
Sosialisasi, pelatihan, dan pembentukan satgas hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah konsistensi dalam menegakkan nilai keadilan yang berperspektif korban.
Bukan tentang Nama Baik Kampus
Kasus EM adalah salah satu dari banyak kasus yang berhasil diungkap ke publik. Saya meyakini bahwa masih banyak suara korban yang belum terdengar, kasus yang tak dilaporkan karena korban sangsi jika sistem akan melindunginya.
Sudah saatnya bagi komunitas akademik, masyarakat sipil, dan mahasiswa untuk menuntut keadilan bagi korban, mendesak transparansi proses penanganan, dan menolak menormalisasi kekerasan di ruang pendidikan.
Kampus seharusnya bukan tempat yang aman bagi pelaku, tetapi ruang yang membebaskan dan melindungi setiap individu dari segala bentuk kekerasan. Karena pendidikan sejatinya tidak hanya soal pengetahuan, tapi juga soal keberanian untuk berdiri di pihak yang benar. Semoga.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Idul Fitri dan Renyahnya Peyek Kacang dalam Tradisi Silaturahmi
-
Antara Pangan Instan dan Kampanye Sehat, Ironi Spanduk di Pasar Tradisional
-
5000 Langkah dan Satu Liter Bensin, Refleksi Tentang Ketidakadilan
-
Membincang Pertolongan Pertama pada Psikologis
-
Menyambangi Bukit Rhema dan Eksplorasi Perjalanan Spiritual di Gereja Ayam
Artikel Terkait
-
Apa Itu Somnophilia? Kelainan Seksual Diduga Diidap Dokter PPDS yang Perkosa Keluarga Pasien
-
Menteri PPPA Desak Priguna Dihukum Berat: Tak Ada Satu pun Perempuan Pantas Alami Kekerasan Seksual!
-
Dokter Biadab! Bius Pasien Lalu Rudapaksa, Amarah Publik Memuncak!
-
Komnas HAM Tegaskan Guru Besar UGM dan Dokter Residen Pelaku Pelecehan Harus Dihukum Lebih Berat!
-
Belajar dari Film Adolescence: Bagaimana INCEL Buat Anak Lakukan Kekerasan
Kolom
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Menemukan Kembali Semangat Politik Ki Hadjar Dewantara di Era digital
Terkini
-
Potensi Leo/Bagas dan Jafar/Felisha Melaju ke Partai Puncak BAC 2025
-
Komentar Nana soal Sikap Sunwoo THE BOYZ Picu Pro-Kontra Netizen
-
5 Rekomendasi Film Sambut Akhir Pekan, Ada A Minecraft Movie hingga G20
-
4 Ide OOTD Chic ala Hong Hwa-yeon yang Bikin Kamu Makin Stylish Kapan Saja!
-
5 Hunter Terkuat dari Luar Asia dalam Anime Solo Leveling, Ada Husbumu?