Setelah sebulan penuh berpuasa, menahan lapar, haus, dan belajar tentang mengendalikan emosi, tibalah hari raya Idul Fitri. Momen yang identik dengan keakraban, berbagi, penuh kehangatan dan kebersamaan. Lebaran merupakan bentuk perayaan ungkapan kebahagiaan pasca puasa Ramadhan yang sarat dengan tradisi. Mulai dari salat Id, mengenakan pakaian terbaik, hingga berkumpul bersama keluarga dan kerabat dalam nuansa silaturahmi.
Ada satu hal yang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana Lebaran, yakni mengenai hidangan khas yang biasanya diletakkan di atas meja tamu. Diantara berbagai sajian, peyek kacang menjadi salah satu camilan yang hampir selalu ada di setiap rumah. Usut punya usut ternyata peyek kacang menyimpan filosofi yang erat kaitannya dengan tradisi silaturahmi di hari raya.
Entah sejak kapan peyek kacang menjadi hidangan wajib saat Lebaran. Camilan ini kerap menjadi "pembuka" sebelum menyantap hidangan utama. Meski sederhana dan terkesan "ndeso", peyek kacang memiliki makna mendalam saat kita menjalin hubungan sosial.
Silaturahmi dan Kekuatan Camilan
Di setiap rumah yang dikunjungi saat Lebaran, hampir pasti tersedia aneka camilan khas, mulai dari nastar, kastengel, kue semprit, hingga peyek kacang. Menariknya, peyek biasanya menjadi pilihan primadona karena teksturnya. Suara kriuk saat menggigitnya sering kali memecah keheningan dan mencairkan suasana.
Obrolan yang awalnya terasa canggung perlahan bisa mengalir saat tangan mulai meraih camilan. Misalnya komentar seperti, "Peyeknya enak sekali, buatan sendiri?" Hingga nostalgia masa kecil, makanan ringan ini bisa menjadi penghubung emosional bagi mereka yang lama tidak berjumpa.
Tradisi silaturahmi saat Lebaran merupakan warisan budaya yang mesti dijaga. Dari generasi ke generasi, momen ini menjadi ajang untuk mempererat hubungan, saling memaafkan, dan kembali mengenang cerita di masa lalu.
Bagi sebagian orang, Lebaran juga menjadi satu-satunya waktu dalam setahun untuk bertemu keluarga. Dalam situasi ini, makanan kerap menjadi medium yang mempererat kembali hubungan yang mungkin sempat merenggang alasan-alasan tertentu.
Saya sendiri memiliki kenangan khusus dengan peyek kacang. Sejak kecil, setiap Lebaran, saya selalu menantikan camilan khas buatan Bude. Peyek buatannya tipis, renyah, dengan taburan kacang yang melimpah dan bumbu yang pas. Kadang, saya dan sepupu sampai berebut bagian yang paling kriuk yang banyak potongan daun bawang. Dari hal sederhana ini, hubungan kekeluargaan terasa semakin lekat. Kini, meskipun sudah dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing, Lebaran dan peyek kacang tetap menjadi alasan untuk pulang dan berkumpul kembali.
Sederhana dan Penuh Arti
Lebaran bukan hanya soal ragam menu dan macam-macam jajanan, tetapi makanan sering kali menjadi alasan untuk menghidupkan kembali silaturahmi. Dalam budaya kita, menyajikan makanan kepada tamu adalah simbol kepedulian, kehangatan dan penerimaan. Bahkan, interaksi sosial yang terjadi di meja makan kerap menjadi awal dari suatu percakapan.
Peyek kacang, dengan segala kesederhanaannya, mencerminkan filosofi hubungan antar manusia. Setiap kriuknya mengingatkan bahwa sesuatu yang sederhana pun bisa memiliki makna. Bahkan, bagian peyek yang bentuknya tidak sempurna justru sering menjadi favorit karena lebih garing - karena mirip dengan hubungan antarmanusia yang tidak selalu sempurna, tetapi tetap bermakna.
Momen Lebaran dan silaturahmi mengajarkan saya untuk berhenti sejenak, menyapa, dan menemu kenali siapa diri kita dan dari mana berasal. Kita belajar untuk memaafkan, membuka hati, dan menghargai kebersamaan dalam segala bentuknya termasuk pada setoples peyek kacang.
Jadi, saat berkunjung ke rumah keluarga atau teman seperti lebaran tahun ini, jangan sungkan untuk mengambil sepotong peyek kacang. Duduk, nikmati setiap kriuknya, lalu mulailah berbincang. Siapa tahu, silaturahmi yang sempat renggang bisa terajut kembali
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Jangan lupa menikmati kriuk peyek kacang bersama orang-orang tersayang.
Baca Juga
-
Belajar Membaca Peristiwa Perusakan Makam dengan Jernih
-
Kartini dan Gagasan tentang Perjuangan Emansipasi Perempuan
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Antara Pangan Instan dan Kampanye Sehat, Ironi Spanduk di Pasar Tradisional
-
5000 Langkah dan Satu Liter Bensin, Refleksi Tentang Ketidakadilan
Artikel Terkait
-
Mengenal Post Holiday Blues, Sering Terjadi Usai Libur Lebaran dan Ketahui Cara Mengatasinya!
-
Antisipasi Macet Parah! Korlantas Polri Tambah Personel di Titik Rawan Arus Balik Lebaran 2025
-
5 Film yang Tayang Lebaran Bersaing Ketat, Pabrik Gula Masih Memimpin
-
Kapan Libur Lebaran 2025 Berakhir? Cek Jadwal Sekolah dan Pekerja di Sini!
-
Liga Film Lebaran Geger! 'Pabrik Gula' Tak Terbendung, Norma Terpeleset?
Kolom
-
Memaknai Literasi Finansial: Membaca untuk Melawan Pinjol dan Judol
-
Manakah Lore yang Lebih Kaya Antara Lord of the Mysteries dan One Piece?
-
Diksi Pejabat Tidak Santun: Ini Alasan Pentingnya Mapel Bahasa Indonesia
-
Sejuta Penonton, Seharusnya Bisa Lebih untuk Film Nasionalisme yang Membumi
-
Komunitas Buku sebagai Safe Space: Pelarian dari Kegaduhan Dunia Digital
Terkini
-
Sinopsis Drama China Fell Upon Me, Tayang di iQIYI
-
Lembapnya Tahan Lama! 4 Toner Korea Hyaluronic Acid Bikin Wajah Auto Plumpy
-
Do What I Want oleh Monsta X: Rasa Bebas dan Percaya Diri Melakukan Apa Pun
-
Ulasan Novel Rumah Tanpa Jendela: Tidak Ada Mimpi yang Terlalu Kecil
-
Bye-Bye Pori-Pori Besar! Ini 4 Serum Korea yang Ampuh Bikin Wajah Halus