Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sulistiyo Suparno
Ilustrasi anak berfantasi karena dongeng. (Pixabay/cdd20)

Mayoritas dari kita pernah bersentuhan dengan dongeng. Ketika kita masih kanak-kanak, orangtua kita sering mendongeng sebagai pengantar tidur. Imajinasi kita melayang membayangkan, seakan kita mengalami apa yang terjadi dalam dongeng tersebut. Tanpa kita sadari, dongeng telah memberikan sebagian dari kecerdasan yang kita miliki di masa kini.

Zaman dahulu, kita sering mendengarkan atau membaca dongeng tentang raja, ratu, pangeran, putri, peri, penyihir, dan kisah-kisah ajaib lainnya. Pada masa itu, dongeng-dongeng yang berisi keajaiban dan kehidupan istana memang sangat digemari. Cerita yang mampu melambungkan angan untuk melupakan sejenak kehidupan nyata yang getir bahkan pahit.

Begitu pula dongeng tentang kancil, binatang yang sering menjadi simbol kecerdikan, sering menjadi dongeng wajib setiap menjelang tidur. Banyak dari kita yang hapal kisah kancil dan buaya, kancil dan siput, kancil dan petani, dan kisah lainnya yang menokohkan hewan bertubuh kecil dan lincah berlari itu. 

Lain dahulu, lain sekarang. Dongeng tentang peri, penyihir, istana sentris, dan kisah keajaiban lainnya, dianggap tidak mendidik. Begitu pula dongeng tentang kancil, bukan lagi dianggap sebagai dongeng mencerdaskan. Kancil adalah binatang licik, bukan cerdik, karena yang ia lakukan adalah muslihat. Tidak cocok untuk konteks pendidikan masa kini.

Maka, dongeng tentang istana sentris, peri, penyihir, juga dongeng tentang kancil, harus kita revisi. Dongeng istana sentris tidak lagi berkutat tentang pewarisan tahta, perjodohan pangeran dan putri raja. Dongeng tentang peri dan penyihir, tidak lagi berkisar tentang tongkat dan mantera yang mampu mewujudkan segala keinginan. Dongeng kancil bukan lagi menyuguhkan aneka muslihat untuk mengatasi masalah.

Beberapa penerbit telah dengan tegas menolak dongeng tentang hal-hal ajaib, sihir, atau tipu muslihat. Hal-hal ajaib akan menggerakkan anak untuk mengharapkan sesuatu secara instan, mengharapkan bantuan tanpa berusaha sendiri. Bila pola pikir seperti itu sudah tertanam dalam benak anak, maka celakalah bangsa ini, karena akan dipenuhi generasi pemimpi.

Mayoritas penerbit di masa kini cenderung menerbitkan buku-buku dongeng yang mengajarkan betapa penting berpikir secara logis, mengandalkan nalar dalam menemukan solusi untuk sebuah masalah. Sejak dini, anak harus dididik untuk mengasah kreatifitas.

Sebagai penulis dongeng, saya menganggap perubahan zaman ini sebagai tantangan yang menyenangkan. Jujur, menulis dongeng yang berisi hal-hal ajaib sungguh mudah, karena tidak menguras pikiran, tetapi itu sudah menjadi masa lalu. 

Sekarang, seorang penulis dongeng harus berpikir keras untuk membuat dongeng yang menarik, mendidik, inspiratif, dan kalau bisa juga yang agamis.

Media untuk menyiarkan dongeng pada masa kini juga sudah beragam, bukan lagi melalui buku atau media cetak. Sekarang zaman internet, semua serba digital, maka penulis dongeng pun harus beradaptasi. Menguasai teknologi internet menjadi kebutuhan mutlak bagi penulis dongeng masa kini.

Beberapa aplikasi menulis dan membaca daring kini telah menyediakan dongeng dan cerpen anak. Tentu target pembaca aplikasi tersebut adalah anak-anak, meski tidak menutup kemungkinan orang dewasa juga ikut mengaksesnya. Sejauh pemantauan saya, dongeng-dongeng yang termuat dalam beberapa aplikasi itu, jarang yang menyuguhkan hal-hal ajaib atau sihir.

Untuk mencegah kemunculan dongeng perihal sihir dan hal-hal ajaib, beberapa aplikasi dan media daring menetapkan tema-tema yang bisa digarap oleh penulis dongeng. Usaha yang bagus. Bagus untuk melindungi generasi penerus dari gerusan budaya buruk (sihir), juga bagus bagi penulis karena bisa fokus menulis sesuai tema.

Beberapa aplikasi juga menyediakan fitur pelaporan atau komplain, sehingga pembaca bisa melaporkan bila ada dongeng yang kurang sesuai untuk anak-anak, atau tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Bila laporan tersebut akurat, pihak pengelola aplikasi bisa mencabut dongeng tersebut dari peredaran.

Saat ini sudah sangat jarang kita menemukan orangtua yang menyempatkan untuk mendongeng pada anak-anak mereka. Selain alasan tak punya waktu atau malas, banyak orangtua yang tidak punya persediaan dongeng untuk disampaikan pada anak-anak mereka. Di sisi lain, anak-anak masih perlu dongeng sebagai asupan ijaminasi yang secara ilmiah terbukti mampu meningkatkan kecerdasan seseorang.

Peluang inilah yang ditangkap oleh pemodal atau orang-orang yang peduli pada dongeng untuk menciptakan aplikasi atau situs di internet untuk memublikasian dongeng. Dongeng-dongeng yang termuat dalam beberapa aplikasi atau situs tersebut dapat kita baca secara gratis, ada pula yang berbayar.

Meski begitu, ada baik bila orangtua harus bijak dalam memilihkan aplikasi dongeng bagi anak-anak mereka. Sebab, aplikasi atau situs dongeng itu ada yang mencampurkannya dengan rubrik untuk orang dewasa. Ada risiko, anak akan mengintip rubrik orang dewasa tersebut. Maka, pilihlah aplikasi atau situs yang memang khusus untuk anak-anak.

Sulistiyo Suparno