Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nariswari Kirana Hayu
Ilustrasi Tuntutan & Ekspektasi (Freepik/katemangostar)

Memang sih lulus S1 memberikan perasaan bangga dan senang untuk diri sendiri dan kedua orang tua kita. Bagaimana tidak, akhirnya setelah bersusah payah mati-matian selama empat tahun, kita lulus sarjana juga dengan menyandang gelar. 

Tapi setelah itu? Apakah perasaan itu berlangsung lama? Kita dihadapkan dengan tuntutan dan ekspektasi yang diberikan ke kita mengenai pekerjaan, terutama dari kedua orang tua. Kita terus-terusan didesak dengan berbagai macam pertanyaan. “Habis ini kamu mau lamar kerja di mana?” “Udah lamar kerja belum?” “Kok belum dapat kerja juga?”

Pekerjaan

Kata yang dulu sangat diidam-idamkan sewaktu kecil dengan berbagai macam pilihan pekerjaan. Mulai dari pilot, astronot, pramugari, polisi, dan masih banyak lagi. Beranjak remaja dan dewasa, sudah mulai terbentuk ingin kerja apa.

Mulai dari penulis, jurnalis, pegawai negeri, guru, dan lain-lain yang kemudian menentukan kita kuliah di jurusan apa. Namun apa yang terjadi setelah kita lulus sarjana? Apakah kemudian impian kerjaan kita tadi terkabul? Tidak semudah itu teman-teman. 

Zaman sekarang mencari pekerjaan tidak semudah itu. Kita sudah melamar di berpuluh hingga ratusan tempat pun belum tentu ada yang menerima. Dimana yang salah? Kita? Atau tuntutan dan ekspektasi yang diberikan kepada kita tentang pekerjaan? 

Tuntutan dan ekspektasi dari orang tua tentang pekerjaan

Dua kata yang sangat berat buat dipikul oleh para fresh graduate. Orang tua tahunya kita hanya menghabiskan waktu dengan me time, healing, pergi jalan sama teman seharian, dan lain-lain. Tapi dibalik itu? Ketika sampai rumah, kita kembali lagi dengan mati-matian mencari dan melamar pekerjaan di berbagai tempat.

Apakah mereka tahu bagaimana perjuangan kita dibalik itu? Kebanyakan mereka hanya ingin hasilnya, dan bukan prosesnya. Kita yang tugasnya mati-matian dibalik itu. Mereka hanya mengharapkan anaknya cepat dapat kerja dan membawakan good news. 

Terkadang ketika kita sedang me time dan healing sesaat, dikira kita membuang-buang waktu dengan hal yang tidak jelas dan tidak produktif, dianggap tidak berusaha mencari dan melamar pekerjaan. Apakah salah? Kita yang stres dan frustasi tidak kunjung mendapat pekerjaan juga sesekali memerlukan me time dan healing agar tetap waras kan? 

Tapi memang tidak semua orang tua seperti itu. Hanya kebanyakan. Mungkin juga tidak semua fresh graduate mengalami hal ini. Banyak juga yang cepat dapat kerja dan sudah bisa hidup mandiri yang terkadang membuat kita iri. 

Apa yang salah?

Apakah diri kita yang salah setelah mati-matian mencari dan melamar pekerjaan? Saya pun tidak tahu jawabannya. Hanya saja, sekarang untuk melamar pekerjaan bagi fresh graduate sangatlah sulit. Terlalu banyak kualifikasi bahkan untuk fresh graduate sekalipun.

Kita fresh graduate yang notabenenya tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam bekerja, namun banyak perusahaan yang menuntut fresh graduate untuk ‘minimal’ memiliki pengalaman bekerja di bidang yang dituju. Apakah masuk akal? Apakah ini hal yang wajar? Saya sendiri tidak tahu.

Namun ternyata hal ini juga banyak dikeluhkan oleh banyak fresh graduate diluar sana. Mereka juga mengalami hal serupa. “Syaratnya juga kebanyakan gak masuk akal, buat fresh graduate tuh susah banget”. Bahkan ada juga yang mengutarakan bahwa saat ini untuk mencari pekerjaan sangat diperlukan ‘orang dalam’ agar cepat dapat kerja. “Zaman sekarang tuh nyari kerja hampir semua tentang orang dalam”. Apakah benar? Apakah semua perusahaan seperti itu? Saya pun tidak tahu. Semoga sih tidak.

Lalu kita harus bagaimana? 

Intinya, walau bagaimanapun susahnya mencari pekerjaan, banyaknya tuntutan kualifikasi, dan pengaruh ‘orang dalam’, jangan sampai kita menyerah dan stuck at the moment. Percayalah pasti suatu saat waktu kita akan datang dan kehidupan kita akan menjadi lebih baik dari sekarang. 

Mau bagaimanapun, kita mau tidak mau tetap harus mencari dan melamar pekerjaan yakan? 

Makanya, sambat boleh, marah boleh, sedih boleh, healing sejenak boleh, me time boleh, stres juga boleh asal jangan berlebih sampai hilang kewarasan kita. 

Don’t lose hope, always have faith, trust the process, and trust yourself! Importantly, stay sane!

Nariswari Kirana Hayu