Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Madi Elong
Ilustrasi pemilu. (Suara.com/Ema Rohimah)

Demokrasi, menurut Jean-Jacques Rousseau dalam "Du Contrat Social," diyakini hanya dapat berhasil jika dijalankan oleh para malaikat. Namun, kesempurnaan dan moralitas tinggi yang dimaksud untuk mewujudkan demokrasi seringkali sulit ditemui dalam perilaku manusia. Meski demikian, demokrasi tetap menjadi pilihan utama sebagai sistem politik, meskipun dihadapkan pada berbagai kendala.

Dalam realitasnya, demokrasi sering menghadapi tantangan seperti rendahnya kompetensi pemimpin, pragmatisme, dan kemunafikan elite politik. Dalam pandangan Rousseau, pemilihan pemimpin sekelas malaikat hampir tidak mungkin terwujud. Meskipun demikian, opsi untuk menggantikan demokrasi dengan sistem politik lainnya juga tidak selalu menjadi solusi yang baik.

Sejarah politik manusia menunjukkan bahwa demokrasi muncul sebagai alternatif terhadap sistem politik yang penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun demikian, demokrasi tidak sempurna dan seringkali dihadapkan pada tantangan seperti kemunafikan dan pragmatisme. Namun, penggantian demokrasi bukanlah jawaban yang pasti.

Dalam konteks Pemilu 2024, dilema demokrasi menjadi nyata. Elite politik berusaha membangun citra positif, sementara di belakang layar, intrik politik dapat membahayakan demokrasi. Di level rakyat, pemilih terbelah antara yang terpengaruh oleh elite, pragmatis, atau mencoba menjaga kemurnian suara dalam bilik suara.

Pentingnya peran pemilih muda menjadi sorotan, karena mereka adalah pemilik masa depan negara. Pemilih muda diharapkan memilih secara rasional dan kritis, menghindari terjebak dalam praktik korupsi dan manipulasi demokrasi. Pemilihan pemimpin yang memiliki integritas dan konsistensi menjadi kunci dalam menyelamatkan demokrasi.

Levitsky, dalam "How Democracies Die," menyajikan empat perilaku elite yang dapat merusak demokrasi. Pemilih, terutama pemuda, diharapkan mempertimbangkan rekam jejak calon pemimpin dan mewaspadai tanda-tanda otoritarianisme. Dalam era populisme, pemilih harus mengutamakan kemampuan dan gagasan, bukan hanya popularitas calon.

Pemilu 2024 menjadi momen penting untuk memilih pemimpin yang dapat menjaga masa depan negara. Pemilih dituntut untuk memilih berdasarkan risiko paling rendah bagi demokrasi dan negara hukum. Pemuda, dengan keberanian dan kesadaran mereka sebagai pemilik masa depan, diharapkan menjadi penentu arah demokrasi Indonesia yang berkembang.

Sebagai penyelamat demokrasi, suara pemilih muda menjadi pilar kokoh dalam membangun fondasi negara yang kuat dan berkeadilan.

Madi Elong