Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ruslan Abdul Munir
Suasana Penumpang KRL di Stasium Manggarai (DocPribadi)

Sedikit menggelengkan kepala ketika seringkali mendengar kabar burung soal kerasnya kehidupan di ibu kota. Rasanya aku tetap memilih untuk tinggal di Bandung daripada harus merantau ke Ibu Kota Jakarta. Ini adalah kali ketiga aku menginjakkan kaki di Jakarta.

Sepanjang perjalanan dari Bandung, di dalam kereta yang aku tumpangi aku sudah banyak memikirkan hal-hal aneh soal kehidupan di Jakarta. Singkatnya kereta Argo Parahyangan yang aku tumpangi dari Stasiun Bandung telah sampai di Stasiun Gambir. Namun, aku sudah punya janji dengan kedua temanku, kami akan bertemu di Stasiun Manggarai sehingga aku melanjutkan perjalanan dengan menggunakan KRL ke Stasiun Manggarai.

Sekadar melepas penat di Stasiun Manggarai

Aku tiba di Stasiun Manggarai sekitar pukul 2 siang, hawa panas terasa sangat membuat aku tidak nyaman selama perjalanan. Aku langsung mencari tempat sepi untuk sekadar mengistirahatkan badan yang mulai lelah setelah melewati perjalanan jauh. Aku seperti anak hilang yang sedang mencari keberadaan ibunya. Banyak orang berlalu lalang, membuat aku bingung harus mencari tempat yang cocok untuk beristirahat.

Akhirnya aku bisa merebahkan kakiku di lantai sembari meneguk minuman yang aku bawa di tas ranselku. Aku menghubungi temanku memberi tahu bahwa aku sudah sampai di Stasiun Manggarai. Ternyata teman ku masih belum selesai dengan pekerjaanya, sehingga aku terpaksa harus menunggu sekitar satu jam lebih di Stasiun Manggarai. 

Selama menunggu, aku benar-benar seperti anak hilang yang tak tahu arah dan tujuan. Hawa panas terasa sangat membuatku tidak nyaman, ditambah aku mengenakan kaos polo dengan balutan sweater yang membuatku makin seperti cacing kepanasan. Sepertinya aku salah memakai outfit, harusnya cukup mengenakan kaos oblong saja jika lain kali aku ke sini lagi.

Antara lapar dan kesal menyatu menjadi satu

Tepat di depanku ada seorang bapak-bapak yang tengah istirahat sambil mengeluarkan makanan yang ia bawa dari tas ranselnya. Seketika aku merasa lapar ketika melihat bapak itu makan dengan begitu lahapnya. Aku memutuskan mencari makan sembari menunggu teman ku datang.

Baru dua langkah aku beranjak seorang wanita menghampiri ku dan menanyakan apakah aku punya kuota internet atau tidak. "Bang maaf, punya kuota internet nggak ?". Serunya. Mungkin maksudnya dia ingin meminta hotspot, kemudian aku pun menjawab ada. 

Selagi aku menyalakan hotspot di handphone ku, wanita itu tiba-tiba mengangkat telephone, entah dari siapa. Aku pun menunggu wanita itu selesai, karena sepertinya pembicaraannya sangat serius. Sebenarnya aku sudah sangat lapar, tapi kasihan juga wanita itu kalau aku tinggal, pikirku.

Setelah hampir dua menit aku menunggu, wanita itu tiba-tiba pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Sedikit kesal, aku hanya bisa menggelengkan kepala. Namun, aku berusaha untuk positif thinking, mungkin dia sedang buru-buru.

Individualisme masyarakat di Jakarta

Aku membawa makananku ke luar area Stasiun Manggarai dan mencari tempat duduk di sebuah taman kecil. Odeng yang aku pesan ternyata begitu pedas, akhirnya aku tidak menghabiskannya, dan aku simpan di pinggir sebelum aku buang. Tak lama kemudian, datang tiga orang bocah, kira-kira usianya sekitar 7 sampai 8 tahunan. Ketiga bocah itu terlihat lusuh dan kemudian mereka duduk di pinggirku.

Aku sempat terheran-heran, anak-anak sekecil ini kok udah bisa merokok bebas ya. Ke mana peran orang tua? Ataukah memang anak-anak ini sudah tidak punya orang tua? Pikirku waktu itu. Salah seorang dari mereka menghampiri ku dan menanyakan odeng ku yang tadi belum sempat aku habiskan. "Bang, itu gak dimakan? buat saya ya?" seru anak itu dengan nada sedikit memaksa. 

Nada bicara anak-anak itu yang membuat aku sedikit ngeri dan menggelengkan kepala lagi, dan akhirnya aku berikan odeng yang belum habis tadi ke salah satu anak itu. Melihat dia makan seperti anak yang sedang kelaparan, aku menjadi tersadarkan aku sendiri terkadang masih sering menyisakan makanan dan akhirnya dibuang. Sedangkan di luar sana masih banyak orang yang kelaparan dan membutuhkan makanan.

Tak lama kemudian, dari kejauhan aku melihat ibu-ibu berjalan dengan raut wajah yang tegas dan penuh dengan amarah. Ibu itu berjalan ke arahku, lantas aku sedikit cemas rasanya ingin lari dari tempat itu. Ternyata ibu itu menghampiri salah satu anak yang tengah duduk di bangku sebelahku. Ibu itu marah sambil mengatakan kata-kata kasar kepada salah satu anak yang kedapatan tengah memegang rokok di tangannya. 

Aku menyaksikan peristiwa itu di depan mata kepala ku sendiri. Di mana seorang ibu berkata kasar dan tak jarang dengan ringannya memukul anak itu dengan tangan dan kakinya. Herannya di tempat tersebut ramai sekali orang, dan tidak ada satupun dari mereka yang melerai kejadian itu. Orang-orang hanya menyaksikan kejadian itu dengan tatapan kosong seolah hal itu sudah biasa mereka lihat. Tapi bagiku itu adalah sebuah keanehan yang hanya di Jakarta baru aku temui. 

Ditawari Pekerjaan Dengan Upah Menjanjikan

Aku mengabari temanku, ternyata masih dalam perjalanan dari Stasiun Depok menuju Manggarai. Sebenarnya aku sudah bosan menunggu dan bingung harus ke mana lagi selain duduk manis menunggu sambil menikmati hawa panas Jakarta. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berkata kepadaku bahwa ia ingin ikut duduk di sebelah ku karena kebetulan masih kosong. "Bang, boleh saya ikut duduk di sini?". Aku pun membolehkannya.

Awalnya laki-laki itu hanya menanyakan aku asal mana dan kerja di mana. Tapi setelah kenalan panjang lebar, dia menawari ku pekerjaan dengan upah yang menjanjikan. Menurutnya aku bisa memperoleh sekitar dua sampai lima ratus ribu dalam sehari. Aku tidak percaya begitu saja, kemudian dia menawariku untuk ikut melihat kantor tempat ia bekerja, katanya tak jauh dari Stasiun Manggarai. 

Aku sudah berpikir aneh-aneh saja waktu itu, aku takut laki-laki itu adalah orang jahat. Lagi pula temanku sudah hampir sampai di Stasiun Manggarai. Akhirnya aku hanya bertukar kontak dengannya. Dia mengirimkan profil perusahaannya kepadaku. Benar saja, bisnis yang dia tawarkan kepadaku adalah bisnis MLM.  Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya. 

Akhirnya temanku datang, dan kami melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan akhir kami yaitu Pantai Indah Kapuk. Sepanjang perjalanan teman ku tak berhenti tertawa mendengar cerita-cerita aneh yang aku alami sepanjang menunggunya tadi. Ternyata benar kehidupan di Jakarta kejamnya bukan main.  

Ruslan Abdul Munir