Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Yoga Yurdho
Ilustrasi cinta yang sudah adiktif. (Pexels.com/Markus Spiske)

Rasa cinta adalah salah satu emosi paling kuat yang dapat dirasakan manusia. Namun, terlepas dari keindahan dan kebahagiaan yang sering dikaitkan dengannya, cinta juga dapat memiliki sisi gelap yang jarang dibicarakan: potensi adiktifnya dan bahaya yang terkait dengannya, termasuk risiko bunuh diri. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi fenomena tersebut dari sudut pandang psikologis.

Keadaan "Chemical High" dalam Cinta

Ketika seseorang jatuh cinta, otaknya merespons dengan melepaskan beragam neurotransmitter dan hormon yang memainkan peran penting dalam pengalaman emosi tersebut.

  1. Dopamin: Hormon ini sering disebut sebagai "hormon kebahagiaan". Saat seseorang jatuh cinta, pelepasan dopamin meningkat, yang menyebabkan sensasi euforia, kegembiraan, dan kesenangan yang intens.
  2. Serotonin: Hormon ini bertanggung jawab atas suasana hati dan perasaan bahagia. Saat seseorang dalam hubungan cinta, tingkat serotonin mereka juga dapat meningkat, yang dapat memberikan efek positif pada suasana hati mereka.
  3. Oksitosin: Hormon ini sering disebut sebagai "hormon pelukan" atau "hormon cinta". Pelepasan oksitosin meningkat selama kontak fisik dan keintiman dengan pasangan, yang memperkuat ikatan sosial dan emosional antara mereka.

Gabungan dari semua hormon ini menciptakan apa yang sering disebut sebagai "keadaan chemical high", di mana seseorang merasa sangat bahagia, terhubung secara emosional, dan terpesona oleh pasangannya. Sensasi ini sering kali sangat kuat dan membuat orang ingin mengulangi pengalaman tersebut, sehingga bisa menjadi salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk mengembangkan ketergantungan emosional pada pasangan mereka.

Perasaan Ketergantungan

Ketika seseorang jatuh cinta secara mendalam, mereka cenderung merasa sangat terhubung secara emosional dengan pasangan mereka. Sensasi-sensasi positif yang dihasilkan oleh hormon-hormon seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin dapat menciptakan pengalaman yang sangat memuaskan secara emosional. Namun, seiring waktu, terutama jika hubungan tersebut menjadi semakin intens atau jika individu tersebut memiliki kecenderungan terhadap ketergantungan emosional, mereka mungkin mulai mengalami perasaan ketergantungan pada pasangan mereka untuk merasa bahagia atau berharga. Ketergantungan emosional dalam hubungan cinta bisa menjadi sangat kuat, mirip dengan ketergantungan terhadap zat adiktif. Individu tersebut mungkin merasa membutuhkan kehadiran, persetujuan, atau perhatian pasangan mereka untuk merasa lengkap atau bahagia. Mereka mungkin mengalami kecemasan atau ketidaknyamanan yang signifikan ketika terpisah dari pasangan mereka, dan mungkin mengabaikan kebutuhan mereka sendiri atau kehidupan mereka di luar hubungan untuk memenuhi kebutuhan pasangan. Ketergantungan emosional yang kuat seperti ini bisa menjadi masalah jika hubungan tersebut tidak seimbang atau tidak sehat. Misalnya, jika pasangan tersebut tidak memberikan perhatian atau dukungan yang diharapkan, individu tersebut mungkin mengalami perasaan putus asa, kecemasan, atau depresi. Selain itu, jika hubungan itu berakhir, baik secara tiba-tiba atau melalui proses yang panjang, individu tersebut mungkin mengalami kesedihan yang mendalam, kehilangan identitas, dan bahkan menghadapi risiko kesehatan mental seperti depresi atau bahkan pikiran bunuh diri.

Risiko Keterkaitan Diri dan Bunuh Diri

Ketika seseorang sangat terkait dengan pasangan mereka dan mengalami ketergantungan emosional yang kuat pada hubungan tersebut, risiko bunuh diri bisa meningkat jika hubungan itu berakhir atau mengalami kesulitan. Ini terkait dengan beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi individu yang terlibat dalam hubungan cinta yang sangat mendalam:

  1. Ketergantungan Emosional yang Intens: Ketergantungan yang kuat pada pasangan untuk mendapatkan kebahagiaan dan rasa berharga dapat membuat individu menjadi sangat rentan ketika hubungan itu terganggu atau berakhir. Ketika seseorang sangat terikat pada hubungan tersebut, kehilangan pasangan dapat menimbulkan perasaan putus asa yang mendalam dan mengancam perasaan identitas mereka.
  2. Perasaan Kehilangan Makna: Bagi beberapa orang, hubungan romantis menjadi sumber utama makna dan tujuan dalam hidup mereka. Jadi, ketika hubungan itu berakhir, mereka mungkin merasa kehilangan arah dan tujuan hidup mereka. Ini bisa menyebabkan perasaan kosong, putus asa, dan depresi yang parah.
  3. Stigma Terkait dengan Patah Hati: Beberapa orang mungkin merasa malu atau merasa bahwa mereka gagal jika hubungan mereka berakhir. Perasaan-perasaan ini bisa memperburuk rasa sakit emosional yang mereka alami dan membuat mereka enggan mencari bantuan atau dukungan dari orang lain.
  4. Rasa Terisolasi: Ketika seseorang sangat terkait dengan pasangan mereka, mereka mungkin kehilangan koneksi dengan orang lain di luar hubungan itu. Ini bisa meningkatkan risiko bunuh diri karena individu tersebut mungkin merasa bahwa mereka tidak memiliki dukungan sosial yang cukup untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.

Semua faktor ini bersama-sama meningkatkan risiko bunuh diri pada individu yang terlibat dalam hubungan cinta yang sangat intensif, terutama jika hubungan itu berakhir atau mengalami kesulitan. Oleh karena itu, penting bagi individu yang terlibat dalam hubungan semacam itu untuk memahami pentingnya mencari bantuan dan dukungan jika mereka mengalami kesulitan emosional atau menghadapi krisis hubungan.

Rasa cinta adalah kekuatan yang luar biasa, tetapi seperti halnya dengan segala sesuatu yang kuat, dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan jika tidak dikelola dengan baik. Dengan memahami mekanisme psikologis di balik ketergantungan cinta dan risiko bunuh diri yang terkait dengannya, kita dapat lebih waspada terhadap potensi bahayanya. Mengembangkan kemandirian emosional dan menjaga keseimbangan dalam hubungan adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental dan kebahagiaan dalam cinta.

Yoga Yurdho