Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi Penghormatan kepada Bendera Merah Putih dalam Prosesi Upacara Bendera (Unsplash/Odua Images)

Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah momen sakral yang setiap tahun kita rayakan dengan gegap gempita. Bendera merah putih berkibar di mana-mana, tiang-tiang dihias sedemikian rupa, dan suara-suara panitia 17-an yang berteriak-teriak mengatur lomba panjat pinang terdengar sampai ke telinga.

Tema HUT RI ke-80, "Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju," adalah sebuah rangkaian kata yang indah, layaknya puisi yang ditulis oleh seorang pujangga yang sedang jatuh cinta.

Tapi, apakah rangkaian kata ini benar-benar mewakili kondisi kita hari ini? Atau, jangan-jangan, kita hanya merdeka dari penjajah, tapi masih terjajah oleh slogan-slogan itu sendiri?

Kita sudah 80 tahun merdeka. Kita sudah merdeka dari penjajahan fisik. Tapi, kita masih sering melihat sesama anak bangsa yang terperosok dalam kemiskinan, ketidakadilan, dan perpecahan.

Bukankah ironis, saat kita merayakan kemerdekaan dengan penuh semangat, kita masih melihat orang-orang yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka?

Peringatan HUT RI seharusnya tidak hanya menjadi acara seremonial tahunan yang diisi dengan upacara bendera dan lomba balap karung, meskipun saya akui, lomba balap karung adalah hiburan yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah momen untuk kita merenung, menilik kembali, dan bertanya pada diri sendiri, "Apakah kita sudah benar-benar "merdeka"?"

Slogan yang Indah dan Ajang Lomba yang Meriah: Sebuah Paradoks

Kita semua tahu, tema HUT RI selalu dibuat dengan kata-kata yang bombastis dan penuh harapan. "Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju."

Slogan ini adalah cita-cita yang mulia. Tapi, mari kita jujur pada diri kita sendiri. Apakah slogan-slogan ini benar-benar diimplementasikan, atau hanya semata diucapkan dalam pidato-pidato para pejabat yang berbusana rapi di bawah terik matahari?

Di sisi lain, ada sebuah tradisi yang tidak pernah lekang oleh waktu, yaitu lomba 17-an. Mulai dari lomba makan kerupuk, lomba balap karung, hingga lomba panjat pinang.

Juhandi et al. (2024) menyebutkan bahwa kegiatan seperti ini adalah sarana menanamkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air, dan penghormatan terhadap sejarah perjuangan.

Saya tidak sepenuhnya menolak argumen ini. Lomba-lomba ini memang bisa menjadi sarana yang baik untuk membangun kebersamaan. Tapi, apakah kita sudah benar-benar meresapi makna di baliknya?

Apakah anak-anak yang berjuang mati-matian untuk memenangkan lomba makan kerupuk, di mana mereka harus berdiri di bawah terik matahari, benar-benar memahami perjuangan para pahlawan yang berkorban nyawa untuk memerdekakan bangsa ini?

Atau, mereka hanya berpikir, "asyik, kalau menang dapat hadiah!" Bukankah ini sebuah ironi? Kita merayakan kemerdekaan dengan lomba-lomba yang tidak merefleksikan realitas perjuangan yang sesungguhnya.

Gotong Royong, Solidaritas, dan Potensi yang Terabaikan

Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan HUT RI, seperti yang disinggung oleh Gunawan & Putri (2024), memang memperkuat solidaritas sosial dan gotong royong.

Kita sering melihat para tetangga bahu-membahu membersihkan lingkungan, memasang bendera, dan mempersiapkan panggung hiburan. Semangat kebersamaan ini sangat terasa. Tapi, mengapa semangat ini hanya muncul di bulan Agustus?

Mengapa gotong royong dan solidaritas ini tidak kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, saat ada tetangga yang kesulitan? Atau, mengapa kita tidak melihat semangat ini saat kita harus berhadapan dengan masalah-masalah sosial yang lebih besar, seperti kemiskinan, ketidakadilan, atau korupsi?

Di sinilah letak ironinya. Kita bisa bersatu untuk mendirikan tiang bendera, tapi kita seringkali sulit bersatu untuk melawan korupsi. Kita bisa bahu-membahu menyiapkan lomba balap karung, tapi kita seringkali sulit bahu-membahu untuk memperbaiki sistem pendidikan yang masih timpang.

Refleksi atas Perjalanan Bangsa: Toleransi dan Komitmen yang Hanya Sesaat

Ahmad Fatih & Robingun Suyud El Syam (2022) berpendapat bahwa peringatan kemerdekaan adalah momen refleksi atas perjalanan bangsa, menanamkan nilai toleransi, dan memperkuat komitmen menghadapi tantangan masa depan. Saya setuju. Tapi, apakah refleksi ini benar-benar terjadi?

Di era digital ini, kita sering melihat media sosial dipenuhi dengan caci maki, perpecahan, dan ujaran kebencian. Kita bisa dengan mudah melihat orang-orang saling menghina karena perbedaan suku, agama, atau pilihan politik. Padahal, kita baru saja merayakan kemerdekaan yang dibangun di atas fondasi toleransi dan keberagaman.

Apakah kita hanya bisa bersatu di bawah bendera merah putih, dan setelah itu kembali terpecah belah? Apakah komitmen untuk menghadapi tantangan masa depan, seperti isu perubahan iklim, masalah ekonomi, atau ketidakadilan, hanya sebatas janji-janji manis yang diucapkan saat upacara bendera, lalu terlupakan setelahnya?

Dekorasi Berlebihan dan Pesan yang Hilang

Persada & Najibulloh (2023) menyoroti penggunaan elemen visual seperti poster dan dekorasi yang kadang berlebihan, namun bertujuan menciptakan suasana meriah. Saya kadang merasa dekorasi ini mirip seperti panggung teater yang megah, tapi ceritanya kosong.

Apakah kita benar-benar butuh spanduk-spanduk besar yang bertebaran di mana-mana, dengan tulisan "Selamat HUT RI ke-80!" yang terlalu besar, sehingga kita harus memiringkan kepala untuk membacanya? Apakah kita benar-benar butuh hiasan-hiasan yang gemerlap, tapi mengabaikan pesan sesungguhnya dari kemerdekaan itu sendiri?

Saya tidak mengatakan bahwa dekorasi itu salah. Tapi, jika kita terlalu fokus pada "bungkusnya," kita akan kehilangan "isinya." Pesan-pesan kemerdekaan, nilai-nilai kebangsaan, dan semangat perjuangan akan hilang di balik dekorasi yang berlebihan.

Saatnya Turun dari Podium, Bekerja di Lapangan

Kemerdekaan bukan acara seremonial. Ia adalah kerja keras harian. Ia bukan hanya milik pejabat yang pidato tiap tahun, tapi milik ibu yang jualan sayur, bapak yang narik becak, guru honorer, dan petani yang tanahnya makin sempit.

Sudah waktunya kita merdeka dari slogan. Tema besar tahunan tidak boleh berakhir di spanduk. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan konkret, partisipasi aktif, dan keberanian menghadapi ketimpangan.

Jangan biarkan tema “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” jadi sekadar mantra kosong. Mari kita jadikan itu target bersama. Dari hal kecil yang dimulai dari menjaga toleransi, menolak korupsi, hingga mendorong keadilan sosial dalam kebijakan publik.

Sebagai bangsa, kita memang sudah merdeka dari penjajah. Tapi untuk merdeka dari kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, dan politik pencitraan? Itu PR kita hari ini.

Yudi Wili Tama