Penyandang disabilitas adalah kelompok yang sangat rentan mengalami perlakuan diskriminatif. Sering kali, diskriminasi itu tidak dilakukan secara sengaja, tapi tetap saja menyakitkan. Bahkan, banyak orang tidak sadar bahwa sikap atau kebiasaan sehari-hari mereka sudah melukai kaum disabilitas dan keluarganya.
Sebagai orang tua dari anak dengan Spinal Muscular Atrophy (SMA), saya dan keluarga merasakannya langsung. Situasi diskriminatif itu hadir dalam banyak bentuk. Mulai dari sikap masyarakat, fasilitas publik, sampai cara berpikir institusi. Semua ini menunjukkan bahwa penerimaan terhadap penyandang disabilitas masih jauh dari ideal.
Salah satu contoh paling awal yang kami alami adalah ketika anak kami masih duduk di sekolah dasar di Yogyakarta. Saat itu, ada seorang teman sekelas yang memandang anak kami dengan tatapan jijik. Hanya karena ia menggunakan kursi roda. Jujur saja, ini menyayat hati kami sebagai orang tua.
Namun, kami mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin, anak tersebut tidak pernah mendapat penjelasan soal disabilitas. Bisa jadi, orang tuanya juga tidak tahu-menahu soal kondisi seperti ini. Tapi tetap saja, perasaan itu membekas.
Contoh lain adalah ketika kami bepergian ke luar negeri, ke sebuah negara tetangga. Di sebuah tempat wisata, anak kami ditolak masuk ke salah satu wahana. Alasannya karena tempat itu tidak bisa diakses kursi roda. Tak ada jalur landai, tak ada fasilitas bantuan. Kami pun harus pulang dalam keadaan kecewa. Anak kami lebih kecewa lagi. Sedihnya terasa hingga berhari-hari.
Diskriminasi juga kami temui di sekolah yang mengklaim dirinya sebagai sekolah inklusi. Nyatanya, akses bagi pengguna kursi roda sangat minim. Bahkan ketika ada pelajaran olahraga, semua siswa diwajibkan berlari bolak-balik di lapangan. Termasuk anak kami. Karena ia tidak bisa berdiri, saya yang akhirnya mendorong kursi rodanya sembari ikut berlari. Lucu? Mungkin bagi sebagian orang. Tapi bagi kami, ini melelahkan dan menyedihkan.
Diskriminasi lain muncul dalam bentuk pandangan buruk terhadap penyandang disabilitas dan orang tuanya. Ada orang yang percaya bahwa disabilitas adalah “hukuman” akibat kesalahan orang tua di masa lalu. Misalnya karena dulu sering minum alkohol atau hidup tidak sehat. Ini adalah stigma yang kejam. Sungguh kejam.
Stigma ini memperburuk posisi penyandang disabilitas di masyarakat. Seolah-olah mereka adalah hasil dari dosa masa lalu. Padahal, disabilitas bisa terjadi karena berbagai faktor yang tidak selalu bisa dicegah. Dan, yang pasti, tidak ada satu pun anak yang pantas diperlakukan buruk hanya karena kondisinya berbeda.
Hal yang juga menyedihkan adalah ketika penyandang disabilitas dianggap tidak mampu. Mereka tidak diberi kesempatan. Tidak dipercaya. Padahal, banyak dari mereka sangat kompeten, bahkan lebih unggul dibandingkan orang tanpa disabilitas. Tapi tetap saja, karena stigma, mereka tidak diberi ruang untuk membuktikan kemampuannya.
Satu lagi bentuk diskriminasi yang sering tidak dianggap sebagai diskriminasi, memperlakukan penyandang disabilitas sama dengan yang lainnya. Tanpa mempertimbangkan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, seorang siswa yang tidak bisa berdiri tetap dipaksa ikut kelas tari. Atau, siswa tuna netra diminta mengikuti kelas melukis. Ini tidak adil. Kesetaraan bukan berarti menyamaratakan semuanya. Tapi memberikan perlakuan sesuai kebutuhan.
Situasi ini tidak hanya terjadi di sekolah atau luar negeri. Di Yogyakarta, tempat kami tinggal, sebagian trotoar di pusat kota memang sudah ramah kursi roda. Tapi bagaimana dengan daerah pinggiran? Masih banyak jalan kampung yang trotoarnya tidak bisa dilalui pengguna kursi roda. Kalaupun ada, sering digunakan untuk jualan atau parkir liar.
Belum lagi soal lift di mal atau gedung bertingkat. Sudah ada rambu “prioritaskan pengguna kursi roda”, tapi sering diabaikan. Kami pernah harus menunggu lama karena tidak ada satu pun orang di dalam lift yang mau mengalah. Padahal, anak kami jelas membutuhkan lift untuk berpindah lantai.
Mewujudkan lingkungan yang nondiskriminatif bukan hanya tugas pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kita semua. Menjadi manusia yang adil dan peduli adalah bentuk nyata penerapan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Juga amanat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Mari kita mulai dari hal sederhana. Membuka mata. Mendengarkan. Dan yang paling penting, berempati. Penyandang disabilitas berhak untuk hidup, belajar, bekerja, dan berbahagia tanpa stigma, tanpa hambatan, tanpa diskriminasi.
Baca Juga
Artikel Terkait
Kolom
-
Merdeka dari Slogan: Tema HUT RI Butuh Implementasi, Bukan Deklamasi
-
IPK Tinggi Bukan Lagi Jaminan: Keluhan Gen Z tentang Pendidikan
-
Multitalenta Bukan Kewajiban: Mahasiswa Juga Manusia
-
Bendera One Piece Berkibar Jelang HUT RI, Saat Budaya Pop Jadi Simbol Perlawanan dan Kritik Sosial
-
Perintis vs Pewaris: Jalan Hidup yang Tak Sama, Beban yang Sama Berat?
Terkini
-
KKN Unand Edukasi Warga Lubuk Sikaping soal Tanggap Kejang Demam Anak
-
Budget Terbatas? Ini 7 Rekomendasi HP Murah yang Bisa Bikin Kontenmu Jadi Profesional di 2025!
-
Ulasan Novel Candhikala Kapuranta: Adat, Politik, dan Dilema Kaum Perempuan
-
Futsal dan Sepak Bola, Apa Bedanya dan Kenapa Banyak yang Pindah Haluan?
-
Ulasan Novel The Quiet Mother: Ketika Seorang Ibu Menyimpan Rahasia Maut