Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | adi prihasmoro
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (tengah) memberikan keterangan pers terkait putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap di Gedung KPU, Jakarta (3/7/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Menarik mencermati fenomena pemberitaan berbagai media yang sedang viral saat ini, termasuk yang diberitakan Suara.com (3/7/2024) tentang pemberhentian Hasyim Asy’ari (HA) selaku Ketua KPU periode 2022-2027. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan Ketua KPU terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) berupa perbuatan asusila yang menyebabkan dirinya diberhentikan sebagai Ketua dan Anggota KPU sebagaimana dimuat dalam Putusan Perkara No. 90-PKE-DKPP/V/2024.

Artikel ini membahas keberatan di luar pokok perkara tersebut atau sisi lain dari fenomena pemberitaan media yang membentuk opini publik sebagai wujud pemahaman kolektif yang ada di masyarakat dan tersimpul dalam frasa Jawa “salah kaprah bener ora lumrah.” Dari perspektif UU Pers hal ini kiranya dapat juga disebut sebagai Hak Koreksi  yang perlu mendapat perhatian Dewan Pers dalam upaya mengembangkan kehidupan pers nasional yang sehat dan independen, sekaligus berperikemanusiaan yang adil dan beradab bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam kasus pemberitaan Putusan DKPP dalam perkara pengaduan asusila tersebut di atas, tentu kalangan pers mempertanyakan di mana letak kekeliruannya jika pemberitaan sudah dibuat berdasarkan fakta, wawancara, dan bahkan keterangan dari korban sendiri. Hanya dengan pernyataan itu pun pada prinsipnya dunia pers secara metodologis dapat melakukan refleksi, apakah benar masing-masing insan pers telah melakukan penggalian data primer atas materi yang diberitakannya atau ada kemungkinan lain misalnya sebagian tidak melakukan penggalian data ke sumbernya langsung atau hanya copy paste bahkan dibingkai ulang dengan prasangka, asumsi, atau kepentingan tertentu (reframing).

Secara hipotesis sepertinya kemungkinan terakhir itu yang menjadi sorotan saat ini. Hal ini tentu memprihatinkan karena pemberitaan pers dapat menjadi kontra produktif dan dapat menggeser opini publik menjauh dari inti fakta materi yang seharusnya dan patut diberitakan kepada masyarakat luas.

Dari perspektif hukum pembuktian pemberitaan seperti itu tidak mencerminkan kesaksian atas fakta yang terjadi. Informasi yang disajikan olehnya dapat disebut sebagai testimonium de auditu, atau dalam falsafah Jawa Ngapak Banyumasan akrab dengan "adol jere kulak ndean"  (menjual katanya bermodalkan spekulasi). Terangnya pemberitaan tentang kesaksian yang berasal dari kesaksian orang lain tidaklah bernilai sebagai kebenaran atas fakta atau peristiwa hukum yang terjadi.

Pada dasarnya fenomena seperti ini sangat berisiko menjadi ajang main hakim sendiri (eigenrichting) atau bahkan terjadi trial by the press atau peradilan terhadap tersangka pelaku yang dilakukan oleh pers dan opini publik. Dalam kasus Putusan DKPP yang memberhentikan HA sebagai Ketua KPU sepertinya lebih parah dari itu. Putusan tersebut merupakan produk pemeriksaan dugaan atas pelanggaran etik (bukan pelanggaran hukum), dan DKPP pun bukan merupakan bagian dari Kekuasaan Kehakiman (judicative power) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Konstitusi UUD 45. Namun demikian stigma perbuatan pidana oleh HA sebagai imbas pemberitaan media sudah disematkan padanya, padahal dilaporkan, disangkakan, dan didakwakan di meja hijau pun belum.

Kiranya sempurnalah penghakiman berbagai media massa dan terus merajut opini publik kepada HA secara brutal melabelinya sebagai pencabul, penzina, pemerkosa, dan/atau terminologi delik-delik pidana lain yang mengatasi due process of law yang seharusnya dijalankan terlebih dahulu dalam koridor sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia.  Pers dan masyarakat seakan berpesta pora melakukan persekusi kepada HA tanpa peradilan yang berwibawa dan bermartabat.

Hal ini bukan berarti menafikan putusan DKPP, namun harus disadari dan disikapi secara adil dan proporsional bahwa putusan tersebut adalah dalam lingkup pelanggaran etik penyelenggaraan pemilu dan sanksi pun sudah ditetapkan oleh DKPP dengan merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan HA sebagai komisioner KPU 2022-2027. Inilah batas kompetensi DKPP yang perlu disadari sudah menjalankan fungsinya dengan benar.

Maka pemberitaan pers dan media massa pun harus dilakukan secara bertanggung jawab atau tidak bereuforia dalam bingkai kebebasan pers. Undang-undang telah mengatur bahwa Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence (vide Pasal 5 UU Pers).

Maka sebagai refleksi bersama mari direnungkan apakah insan pers nasional termasuk kita semua sebagai warga negara yang taat konstitusi telah memberitakan putusan atas pelanggaran etik penyelenggaraan pemilu terhadap HA secara etis dan proporsional? atau justru main hakim sendiri, sudahkah memilih diksi yang patut susila atau justru memilih diksi yang berasosiasi pornografi, memberitakan secara proporsional atau memicu “ghibah” nasional, atau malah justru melanggar tatanan Hukum Pers itu sendiri. Wallahu’alam, hanya Tuhan Sang Khalik dan diri masing-masing yang secara jernih mengetahui jawabnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

adi prihasmoro