Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Arif Yudistira
Ilustrasi kekerasan seksual. [Suara.com/Eko Faizin]

“Sejarah perlawanan laki-laki terhadap emansipasi perempuan, mungkin lebih menarik daripada kisah emansipasi itu sendiri”

-Virginia Woolf

Malang benar nasib perempuan, di ruang publik ia selalu was-was, dan tidak bisa tenang. Kedamaiannya diancam oleh rezim patriarki yang setiap saat bisa mengganggu, mengancam bahkan membuat nyawanya hilang. Dalam ruang privat [keluarga] sekalipun, perempuan tidak bisa menjamin dirinya aman, meski ada laki-laki dalam keluarganya.

Di era sekarang, saat perempuan sedang berjuang melawan kebodohan dan kemiskinan pengetahuan, ia harus berjuang menghadapi pembimbingnya, sosok gurunya yang mestinya menjadi pengayomnya. Entah kejadian yang keberapa, kekerasan seksual di kampus dengan modus bimbingan skripsi terjadi. Kali ini, di kampus swasta di Kota Solo, seorang dosen pembimbing skripsi melakukan tindak pelecehan seksual kepada mahasiswi yang dibimbingnya [10/7/2024].

Kasus ini viral di jagat media sosial dan membuat mahasiswi trauma. Perlakuan sang dosen pembimbing yang memintanya bimbingan di rumah merupakan pelanggaran kode etik yang dilarang oleh kampus. Ditambah lagi sang dosen melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.

Relasi Kuasa

Kekuasaan perempuan atas tubuhnya sendiri seolah lebih rentan dibanding kekuasaan lelaki atas tubuh perempuan. Segala yang dilakukan perempuan tidak bisa selalu dipandang setara dalam masyarakat kita.

Perempuan lebih banyak mengalami impostor syndrome yang membuat dirinya sulit untuk percaya diri dan teguh menghadapi masyarakat dan banyak hal.

Perjuangan emansipasi perempuan selalu mudah dipatahkan dengan berbagai pandangan atau penilaian lelaki terhadap perempuan. Dalam perjuangan kesetaraaan lelaki dan perempuan selalu ada kasus yang paradoksal.

Di satu sisi kita memahami arus perlawanan dan perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, di sisi lain, ada kekuasaan patriarki yang tidak selalu ingin emansipasi itu eksis.

Kasus pelecehan terhadap perempuan di kampus tidak bisa dilepaskan dari “Dominasi maskulin”—meminjam istilah dari Pierre Bordiue. Dalam bukunya Dominasi Maskulin (2010), Bordiue menuliskan, “Bahwa perempuan adalah pihak yang pasif dan laki-laki adalah pihak yang aktif secara seksual adalah bahasa simbol dominasi laki-laki terhadap perempuan. Perempuan digambarkan pihak yang menerima saja, pihak yang tidak bisa berinisiatif dan tunduk apa yang laki-laki lakukan. Laki-laki menerapkan kekuasannya dalam relasi seksualnya, relasi seksual menjadi ajang dominasi laki-laki terhadap perempuan” (Bourdieu, 2010: 27).

Pembimbing selalu dikukuhkan oleh persepsi publik kampus sebagai dewa, sosok yang berkuasa yang bisa meruntuhkan kekuasaan yang dibimbing (mahasiswa). Dengan persepsi publik yang seperti itu, maka mahasiswi tidak punya kuasa atau kekuasaan untuk menolak ajakan bimbingan di rumah.

Kekerasan seksual menjadi alarm keras bagi dunia kampus. Dominasi kekuasaan terhadap perempuan yang dilakukan “predator kampus”, harus diputus. Sanksi yang tegas dan juga sistem pencegahan yang ketat bisa membantu mengantisipasi korban berjatuhan lebih banyak.

Pendidikan tinggi harus memberi tempat yang aman dan nyaman bagi laki-laki maupun perempuan. Permendikbudristek tentang PPKS No. 82 Tahun 2015, tidak cukup sekadar aturan, melainkan harus diuji secara terus-menerus dalam perjuangan menegakkan kesetaraan dan melawan kekerasan seksual di kampus.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Arif Yudistira