Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi korban Bullying.(Freepik/pikisuperstar)

Generasi muda seringkali menjadi sasaran empuk berbagai stigma, salah satunya adalah cap bermental lemah. Anggapan ini begitu melekat seolah menjadi kebenaran mutlak. Padahal, data menunjukkan bahwa generasi muda saat ini justru menunjukkan ketangguhan yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.

Lantas, apa yang sebenarnya kita ketahui tentang generasi muda? Apakah kita hanya melihat mereka dari sudut pandang stereotipe yang sempit? Atau apakah kita bersedia untuk membuka mata dan melihat potensi luar biasa yang mereka miliki?

Stigma terhadap generasi muda seringkali berakar dari kesalahpahaman dan generalisasi yang berlebihan. Perbedaan generasi, perkembangan teknologi, dan perubahan sosial budaya seringkali menjadi pemicu munculnya stereotipe negatif. Akibatnya, potensi dan kreativitas generasi muda seringkali terkekang oleh pandangan sempit masyarakat.

Dampak stigma "bermental lemah" terhadap generasi muda sangatlah nyata. Banyak di antara mereka yang merasa tidak percaya diri, terisolasi, dan kehilangan motivasi untuk berprestasi. Stigma ini dapat menghambat pertumbuhan pribadi, mengikis harga diri, bahkan memicu masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Perasaan tidak percaya diri ini seringkali menghambat mereka untuk mengejar mimpi dan potensi yang sebenarnya. Mereka takut gagal dan dihakimi oleh orang lain. Akibatnya, banyak generasi muda yang memilih untuk 'menyesuaikan diri' dengan harapan agar diterima oleh lingkungan sekitar. Padahal, setiap individu memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing yang patut dihargai.

Ada banyak penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa mayoritas remaja merasa tertekan oleh ekspektasi tinggi dari orang tua dan masyarakat. Tekanan untuk berprestasi secara akademis dan sosial seringkali membuat mereka merasa kewalahan dan tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini semakin diperparah oleh stigma "generasi malas" yang seringkali dialamatkan kepada mereka.

Diketahui bahwa sampai abad ke-21 ini terdapat beberapa kelompok generasi. Mulai dari generasi yang lahir sebelum tahun 1946 yang disebut dengan generasi silent; generasi yang lahir antara tahun 1946-1964 yang disebut dengan generasi baby boomers; generasi yang lahir antara tahun 1965-1980 yang disebut generasi x; generasi yang lahir antara tahun 1981-1996 yang disebut dengan generasi y atau milenial; generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 yang disebut dengan generasi z; dan generasi yang lahir setelah tahun 2012 yang disebut dengan generasi alpha.

Pembabakan generasi ini dibuat oleh otoritas masyarakat sendiri untuk menandai sebuah perubahan, mulai dari aspek sosial budaya, teknologi, maupun sejarah. Baby boomers, misalnya. Generasi ini dikenal sangat pekerja keras dan berorientasi pada pencapaian. Ketradisionalan kehidupannya dibandingkan dengan generasi x yang cenderung lebih individualis dan plagmatis. Di balik itu, teknologi yang dikenal oleh generasi-generasi tua ini belumlah secanggih teknologi abad ini.

Perbedaan ini bukan berarti salah satu generasi lebih baik dari yang lain. Justru, perbedaan ini adalah kekayaan yang dapat memperkaya kehidupan kita. Dengan saling memahami dan menghargai, kita dapat membangun hubungan yang lebih harmonis antargenerasi. Namun, belakangan ada kericuhan yang menyebabkan banyak stigma negatif beterbangan dari generasi ke generasi. Mulai dari ketidakpuasan kerja, kebiasaan yang berbeda, pola hidup, bahkan pola pikir yang agak jauh berbeda.

Sebuah ilustrasi, Juli, seorang remaja berusia 17 tahun, aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, ia seringkali dianggap tidak serius karena lebih suka menghabiskan waktu di media sosial. Akhirnya, stigma generasi gadget ini membuatnya merasa tidak dianggap dan kurang dihargai. Kisah ini menggarisbawahi stereotipe bahwa generasi mudanya hanya peduli dengan gadget dan media sosial. Akibatnya, kontribusinya dalam kegiatan sosial seringkali diabaikan.

Ilustrasi lain, Andi, seorang mahasiswa baru yang baru saja memulai magang di sebuah perusahaan startup. Dia antusias di awal. Namun, setelah beberapa minggu, Andi mulai merasa bosan dengan rutinitas pekerjaannya. Dia seringkali melamun dan merasa pekerjaan yang diberikan kepadanya tidak menantang. Ketika ditanya oleh atasannya, Andi menjawab, "Saya ingin cepat naik jabatan dan mendapatkan proyek yang lebih besar." Stigma ini membuatnya dianggap tidak berkomitmen dan sulit dipertahankan di perusahaan, serta dianggap tidak sabar dan cepat bosan dengan pekerjaan yang monoton karena selalu menginginkan sesuatu yang baru dan menarik.

Barangkali sindiran tentang penggunaan teknologi cukup banyak disoroti belakangan ini. Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi. Selain itu, penggunaan media sosial yang berlebihan seringkali dikaitkan dengan perilaku negatif seperti kurangnya interaksi sosial langsung, ketergantungan pada validasi sosial, dan masalah kesehatan mental. Hal ini memperkuat stigma bahwa generasi muda adalah generasi yang individualis dan kurang peduli dengan orang lain.

Akses yang mudah terhadap informasi melalui internet dapat menyebabkan informasi yang salah atau bias tersebar luas. Berita-berita negatif tentang generasi muda seringkali menjadi viral, memperkuat stigma yang sudah ada. Dari generasi muda sendiri, yang kadang ikut arus dengan konten-konten negatif yang sedikit banyak memengaruhi kondisi psikologis, misalnya dari kondisi bahagia setelah menonton konten sindiran atau galau langsung berubah mood-nya. Seolah-olah ada kelebihan ekspresi diri dari apa yang ditangkap visual generasi muda kita saat ini.

Berkaitan dengan isu mental, yang barangkali tabu dan tidak dikenal di generasi sebelumnya juga menjadi salah satu penyebab munculnya stigma negatif generasi muda. Saat ini, ada lebih banyak informasi dan informan karena perkembangan teknologi dan pendidikan. Setiap orang bisa mengetahui dan mengedukasi dirinya sendiri dengan konten yang mereka tonton setiap hari.

Yang menjadi batu lemparan dari generasi muda ke generasi yang lebih tua adalah bahwa mereka tidak dibiasakan mempersoalkan isu kesehatan mental dan hidup jauh tradisional, hanya tahu bekerja keras sebab saat itu teknologi baru dikenal berapa persen dan tidak ada yang instan. Tidak seperti sekarang yang mengenal lokasi hanya dengan satelit (GPS), mengubah kata-kata menjadi gambar dengan AI, dan sebagainya.

Sama seperti orang-orang dari generasi silent atau generasi yang tidak terdefinisi lainnya yang populer karena menemukan teori-teori dengan persilangan kacang kapri (Mendel) atau penemuan-penemuan Edison yang dicap sebagai anak yang tidak pintar akademik, generasi muda saat ini juga banyak menyumbangkan ide-ide dan penemuan yang relevan dengan kebutuhan hidup era ini. Misalnya, menciptakan robot untuk meringankan pekerjaan manusia, meski banyak pandangan bahwa kecerdasan buatan itu nantinya akan menggeser profesi manusia dan memanjakan mereka dengan hal yang serba instan. Ketika Anda mengikuti sebuah perlombaan yang diikuti oleh generasi muda, barangkali Anda akan terpukau dengan kreativitas mereka menggelar inovasi berbasis SDGs.

Jika ditinjau kembali, saat ini teknologi mengubah semua aspek kehidupan dan diagungkan sebegitu dalam. Generasi alpha yang masih merintis dewasa ini bahkan diramalkan akan memiliki pengalaman penuh dengan teknologi dan gadget sepanjang hidupnya. Bukankah mereka dituntut untuk lebih berinovasi dari kecanggihan yang sudah luar biasa di era ini? Bukankah lambat laun akan ada mobil atau rumah terbang, robot-robot, augmented reality, dan semua kecanggihan yang akan mereka perkenalkan kepada dunia dan kita yang nanti akan bergulir menjadi tua?

Agaknya, stigma ini muncul akibat kurang siapnya generasi sebelumnya dengan perubahan. Perubahan perlahan ini rupanya masih memberikan efek syok bagi generasi sebelumnya. Standar kehidupan mereka di eranya barangkali tidak lagi berlaku di era ini. Ada tuntutan dan standar yang lebih tinggi, lebih baru, yang sama-sama belum dikenal membayangi generasi muda saat ini. Pola hidup baru dengan isu kesehatan mental, tuntutan kreatif dan inovatif, digitalisasi, dan globalisasi seakan menjadi beban tambahan yang harus dipikul generasi muda. Belum termasuk kesempurnaan dan pencapaian instan yang terus menerus mereka konsumsi di balik isu kesehatan mental yang terus menerus digaungkan di media-media.

Generasi sebelumnya mungkin kesulitan memahami mengapa generasi muda sering merasa tertekan atau bahkan depresi. Mereka mungkin menganggap masalah yang dihadapi generasi muda saat ini sebagai bentuk pemanjaan diri atau kurangnya kerja keras. Padahal, tuntutan hidup di era digital yang serba cepat dan kompetitif ini memang sangat berbeda dengan era mereka. Generasi muda harus beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat, sementara generasi sebelumnya mungkin masih berpegang teguh pada nilai-nilai dan kebiasaan lama.

Perbedaan persepsi inilah yang seringkali menjadi akar dari stigma terhadap generasi muda. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya bersama dari semua pihak untuk saling memahami dan menghargai perbedaan. Generasi yang lebih tua perlu terbuka terhadap perubahan dan belajar dari generasi muda, sementara generasi muda perlu menghormati pengalaman dan kebijaksanaan generasi sebelumnya.

Kita perlu membangun jembatan antara generasi agar dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bersama-sama. Generasi muda adalah cerminan zamannya. Jika kita melihat mereka sebagai masalah, berarti kita gagal menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk tumbuh.

Sudah saatnya kita berhenti menghakimi generasi muda dengan kacamata kuda masa lalu. Mereka adalah produk dari zaman yang serba cepat dan penuh tantangan. Alih-alih menyalahkan mereka, mari kita berikan dukungan dan kesempatan untuk berkembang. Ingat, generasi muda adalah aset terbesar bangsa. Investasi terbaik yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan mereka ruang untuk berkreasi dan berinovasi.

Christina Natalia Setyawati