Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Yessica Octa Fernanda
Ilustrasi kelas menengah (Unsplash/Andy Al Mesura)

Permasalahan kelas menengah itu kompleks, namun disepelekan. Masyarakat kelas menengah di Indonesia begitu terhimpit, tak ubahnya dianggap sebagai beban negara. Padahal mereka merupakan aktor utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Di sisi lain, kelompok ini memiliki segudang masalah serius yang belum terselesaikan sepenuhnya. Mereka tidak punya ruang untuk bergerak bebas, ibaratnya maju kena, mundur pun kena. Lalu, siapa itu masyarakat kelas menengah?

Kelas menengah merupakan kelompok sosial yang memiliki tingkat pendapatan dan pendidikan yang berada di antara kelas bawah dan kelas atas. Secara umum, mereka memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Di Indonesia, kelas menengah sering diasosiasikan dengan kelompok yang memiliki gaya hidup yang lebih nyaman dan stabil dibandingkan kelas bawah, namun belum mencapai kemewahan yang dimiliki oleh kelas atas. Mereka juga cenderung memiliki pekerjaan dengan gaji tetap dan mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk tabungan atau investasi.

Menurut Bank Dunia, kelas menengah terdiri dari 52 juta orang, menjadikannya sebagai salah satu penopang ekonomi terbesar. Namun, pengeluaran bulanan mereka, berdasarkan penelitian Bank Dunia, berkisar antara 1.200.000 hingga 6.000.000 rupiah, sementara kelompok menuju kelas menengah menghabiskan sekitar 532.000 hingga 1.200.000 rupiah. Sayangnya, gaji mereka relatif stagnan dipotong untuk pajak maupun asuransi.

Ini menunjukkan bahwa inflasi bahan pangan jauh melampaui kenaikan gaji pegawai swasta, yang menggerus daya beli mereka dan memaksa mereka untuk menguras tabungan guna memenuhi kebutuhan hidup.

Namun di mata pemerintah, kelompok kelas menengah ini seolah “dianaktirikan” dari kelompok kelas bawah maupun atas. Masyarakat kelas bawah sangat diistimewakan pemerintah melalui berbagai bantuan sosial atau bantuan langsung tunainya. Saking istimewanya, pemberian bantuan ini tidak tepat sasaran dan orang-orang liciklah yang kecipratan kecerobohan pemerintah.

Di lain pihak, masyarakat kelas atas sangat dimudahkan dalam berbagai urusan seperti investasi, pembangunan-pembangunan ilegal, maupun dalam hal pembayaran pajak. Parahnya lagi, masyarakat kelas atas jauh lebih mudah “bekerja sama” dengan aparat untuk memuluskan kehendaknya.

Jika penderitaan kaum kelas menengah terus berlanjut, maka akan menjadi alarm bahaya bagi Indonesia. Ketika daya beli masyarakat menengah menurun dan tingkat belanja serta konsumsi terusik, maka aktivitas ekonomi negara akan terguncang. Ekonomi yang melemah menyebabkan pengangguran dan kemiskinan yang berujung pada kesenjangan kesejahteraan masyarakat.

Berbagai krisis pun siap menerjang jika ekonomi lesu akibat tertekannya daya beli kelas menengah. Ditambah lagi fakta bahwa sepertiga dari total tingkat konsumsi Indonesia berasal dari konsumsi kalangan kelas menengah.

Untuk memperbaiki keadaan ini, beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain adalah peningkatan daya beli melalui kenaikan upah minimum regional (UMR) dan pemberian bantuan sosial yang lebih tepat sasaran. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan pengusaha swasta untuk membuka lapangan pekerjaan bagi kelas menengah.

Namun, solusi yang lebih mendasar adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui kurikulum yang relevan dengan dunia kerja, pelatihan, seminar, dan workshop. Kualitas SDM yang baik akan membekali mereka dengan kemampuan berpikir kritis, sehingga tidak mudah dipermainkan.

Kelas menengah layak dinobatkan sebagai kelas masyarakat ter-bakoh se-Indonesia, sebab dapat bertahan di berbagai musim kehidupan. Walaupun ketidakadilan menerpa, mereka tetap santuy dan berjuang mati-matian tanpa berharap banyak pada uluran tangan elite pemerintah.

Yessica Octa Fernanda