Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christina Natalia Setyawati
Sarjana (Pexels/Gül Işık)

Setiap tanggal 29 September, Indonesia memperingati Hari Sarjana Nasional. Peringatan ini bertujuan untuk menghargai peran para sarjana dalam pembangunan bangsa. Tanggal tersebut dipilih sebagai penghormatan kepada Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, yang merupakan sarjana Indonesia pertama. Hari Sarjana Nasional menjadi momen refleksi bagi para sarjana untuk terus berkontribusi bagi masyarakat dan negara.

Hari Sarjana Nasional menjadi semakin relevan di tengah tantangan yang dihadapi para sarjana masa kini. Persaingan kerja yang ketat, tuntutan akan keterampilan yang terus berkembang, serta ketidaksesuaian antara kurikulum perguruan tinggi dengan kebutuhan industri menjadi beberapa tantangan yang harus dihadapi. Peringatan ini diharapkan dapat menjadi pemicu semangat bagi para sarjana untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman.

Sarjana memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa. Mereka diharapkan mampu menghasilkan inovasi, memecahkan masalah, dan menjadi pemimpin yang berkualitas. Peringatan Hari Sarjana Nasional menjadi pengingat bahwa para sarjana memiliki tanggung jawab moral untuk berkontribusi dalam memajukan negara.

Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah membawa kita pada era disrupsi. Disrupsi ini tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi dan berinteraksi, tetapi juga secara signifikan mengubah lanskap dunia kerja. Bagi para sarjana, perubahan ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang yang tak terduga.

Di satu sisi, era disrupsi membuka lebar pintu bagi para sarjana untuk berkarya dan berinovasi. Munculnya berbagai startup dan perusahaan berbasis teknologi menciptakan lapangan kerja baru yang menjanjikan. Namun, di sisi lain, disrupsi juga memunculkan ancaman bagi stabilitas pekerjaan. Otomatisasi dan kecerdasan buatan mulai menggantikan peran manusia dalam banyak sektor, termasuk sektor yang sebelumnya didominasi oleh tenaga kerja terdidik.

Lantas, bagaimana seharusnya para sarjana menyikapi era disrupsi ini? Pertama, para sarjana perlu terus belajar dan mengembangkan diri. Keterampilan yang relevan dengan perkembangan teknologi, seperti pemrograman, analisis data, dan kecerdasan buatan, menjadi semakin penting. Selain itu, soft skills seperti kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan beradaptasi juga sangat dibutuhkan.

Kedua, para sarjana perlu memiliki mindset yang terbuka dan fleksibel. Mereka harus siap untuk menghadapi perubahan yang cepat dan tidak terduga. Ketiga, para sarjana perlu memiliki jiwa kewirausahaan. Memulai bisnis sendiri bisa menjadi pilihan yang menarik bagi mereka yang ingin menciptakan lapangan kerja baru dan mandiri secara finansial.

Pemerintah dan perguruan tinggi juga memiliki peran penting dalam menghadapi era disrupsi ini. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi dan memberikan insentif bagi perusahaan yang menciptakan lapangan kerja baru. Perguruan tinggi perlu mereformasi kurikulum agar lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Dalam menghadapi era disrupsi, para sarjana tidak perlu merasa takut atau khawatir. Justru, mereka harus menyambut perubahan ini sebagai sebuah peluang untuk tumbuh dan berkembang. Dengan bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tepat, para sarjana Indonesia dapat menjadi generasi yang mampu menghadapi tantangan masa depan dan membawa bangsa ini menuju kejayaan.

Sarjana di era disrupsi dituntut untuk lebih dari sekadar memiliki ijazah. Mereka harus menjadi pembelajar seumur hidup, adaptif terhadap perubahan teknologi, dan memiliki keterampilan yang relevan dengan tuntutan pasar kerja yang dinamis. Kesiapan mereka dalam menghadapi disrupsi akan menentukan keberhasilan mereka dalam berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa.

Christina Natalia Setyawati