Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mia Miralda
Nikita Mirzani dan Lolly. (Instagram)

Akhir-akhir ini, publik ramai membicarakan perseteruan antara Nikita Mirzani dan putrinya, Lolly. Hubungan ibu dan anak yang awalnya terlihat akrab di media sosial kini berubah menjadi drama penuh konflik. Apa yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang psikologi? Mari kita lihat bersama dengan pendekatan yang lebih santai tapi tetap bermakna.

Konflik Antara Orang Tua dan Anak dalam Masa Remaja

Pertikaian antara orang tua dan anak bukanlah hal baru, terutama jika anak sedang berada di fase remaja. Fase ini biasanya ditandai dengan pencarian jati diri yang sering kali berseberangan dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua. Anak yang berada dalam masa transisi remaja menuju dewasa mungkin sedang mengalami kebingungan identitas dan kebebasan. Konflik seperti ini sering dipicu oleh kebutuhan remaja untuk merasa mandiri dan didengarkan.

Menurut psikolog klinis, Ratih Ibrahim, remaja kerap kali memiliki "krisis identitas", di mana mereka merasa perlu untuk menentukan siapa mereka tanpa pengaruh orang tua. Ketika kebebasan ini dirasa tidak dihargai atau diakui, konflik menjadi tak terhindarkan. Ini tampak jelas dalam hubungan Lolly dan Nikita, di mana perbedaan pandangan tentang cara hidup, kebebasan, dan batasan mulai muncul ke permukaan.

Dampak Gaya Pengasuhan

Nikita Mirzani dikenal sebagai sosok yang kuat, vokal, dan terbuka. Sementara bagi sebagian orang, gaya ini mungkin tampak mengintimidasi, bagi Lolly bisa jadi hal ini menimbulkan perasaan tertekan. Psikolog Anna Surti Ariani dalam wawancara bersama Kompas mengatakan bahwa gaya pengasuhan yang terlalu otoriter atau terlalu permisif sama-sama bisa menimbulkan masalah bagi anak. Jika seorang ibu cenderung dominan dan kurang memberikan ruang bagi anak untuk berdiskusi, anak bisa merasa tidak didengar, dan itu berpotensi memperparah konflik.

Di sisi lain, Nikita mungkin merasa bahwa sebagai ibu, ia memiliki kewajiban untuk mengarahkan anaknya sesuai dengan nilai-nilai yang ia yakini. Namun, peran ini bisa terasa berat bagi anak yang sedang ingin mencari kebebasan. Di sini letak perbedaan persepsi yang sering kali memicu konflik antara orang tua dan remaja.

Peran Media Sosial dalam Konflik

Yang membuat perseteruan ini semakin rumit adalah keterlibatan media sosial. Baik Lolly maupun Nikita kerap menumpahkan perasaan mereka secara terbuka di platform digital. Hal ini justru bisa memperburuk situasi. Psikolog Tika Bisono menilai bahwa media sosial kerap memperbesar konflik yang sebenarnya bisa diselesaikan secara privat. Ketika konflik keluarga dibawa ke ranah publik, ada banyak opini yang masuk, yang pada akhirnya malah memperpanjang masalah tanpa solusi yang jelas.

Media sosial memang sering kali menjadi tempat bagi seseorang untuk mencari validasi atas perasaan mereka. Namun, dalam kasus ini, alih-alih menjadi jalan keluar, media sosial justru memperkeruh suasana. Keduanya mungkin terjebak dalam dinamika di mana masing-masing merasa perlu membela diri di depan publik, sehingga membuat komunikasi langsung menjadi terhambat.

Bagaimana Cara Membangun Kembali Hubungan?

Jika kita melihat kasus ini dari kacamata psikologi keluarga, solusi terbaik sebenarnya adalah komunikasi yang sehat dan terbuka. Tari Sandjojo, seorang terapis keluarga, menekankan pentingnya dialog yang saling mendengarkan tanpa prasangka. Kuncinya adalah bagaimana kedua pihak, dalam hal ini Nikita dan Lolly, bisa menurunkan ego masing-masing dan mulai mendengarkan satu sama lain.

Selain itu, penting bagi orang tua seperti Nikita untuk memahami bahwa anak remaja membutuhkan ruang untuk membuat keputusan sendiri, termasuk melakukan kesalahan. Pendekatan yang lebih empatik dan suportif sering kali lebih efektif daripada pendekatan otoriter. Begitu juga dengan Lolly, memahami niat baik sang ibu mungkin bisa meredakan ketegangan yang ada.

Pertikaian antara Lolly dan Nikita adalah cerminan dari dinamika keluarga yang sering kita lihat, terutama saat anak-anak memasuki masa remaja. Ini adalah waktu yang penuh tantangan, baik bagi orang tua maupun anak. Dari sudut pandang psikologi, penting untuk diingat bahwa komunikasi yang terbuka, empati, dan penghargaan terhadap ruang pribadi masing-masing adalah kunci untuk memperbaiki hubungan yang retak.

Akhirnya, kita hanya bisa berharap bahwa perseteruan ini bisa segera menemukan titik temu, sehingga baik Nikita maupun Lolly, ataupun keluarga lain di luar sana yang mengalami konflik serupa, dapat kembali menjalin hubungan yang harmonis, meskipun dengan perbedaan yang ada.

Mia Miralda

Baca Juga