Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi salah tangkap (Pexels.com/ Kindel Media)

Seperti yang sudah jelas termuat dalam konstitusi bahwa Indonesia bukan negara kekuasaan, dan bukan juga negara yang memaafkan kesalah atas nama hukum sekalipun.

Konsekuensinya, setiap tindakan dan perilaku aparat penegak hukum harus selaras dengan nilai-nilai konstitusi, serta mengorientasikan dirinya pada prinsip yang merefleksikan negara hukum dengan menghormati dan melindungi kedudukan hak asasi manusia.

Tindakan salah tangkap hingga pemerasan pengakuan dengan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah oknum aparat penegak hukum tidak cukup diselesaikan dengan konferensi pers atau klarifikasi semata hanya karena kasus dan berita terlanjur viral kemana-mana.

Bukan tanpa sebab, apabila pendekatan atau cara penyelesaian lama semacam itu terus-menerus dilakukan, tanpa dibarengi dengan upaya pembenahan secara internal hingga penerapan sanksi yang tegas bagi para pelakunya, maka akan semakin berpotensi memberikan impunitas dan me-normalisasi tindakan serupa terus berulang.

Kesalahan dalam melakukan penangkapan bukan serta-merta hanya menyangkut kecacatan prosedur-formal yang dilanggar, bahkan lebih dari itu, ia juga berhubungan dengan kedudukan hak asasi manusia dari seseorang yang diduga melakukan suatu perbuatan pidana.

Menyikapi kondisi krisis profesionalisme aparat penegak hukum yang terjadi saat ini, lantas apakah tidak ada satu payung hukum pun yang mengatur perihal bagaimana semestinya aparat penegak hukum bertugas? Tentu ada.

Jika berbicara soal landasan hukum baik formil maupun materil, kita sudah cukup lengkap regulasi yang mengatur secara detail akan hal tersebut, kendati tak dipungkiri masih terdapat beberapa kekosongan dan tak luput dari kekurangan yang semestinya segera dibenahi agar tetap relevan dengan kondisi dan keperluaan zaman.

Sebagai contoh, misalnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik hingga beragam peraturan pelaksana lainnya seperti Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia telah memberikan garis batas, kepastian, hingga keadilan baik dalam membatasi dan memberikan kompas penunjuk arah bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya.

Tapi, jika dalam proses implementasinya justru kontradiksi dan tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam payung hukum tersebut, maka sudah pasti bahwa keadilan maupun ketertiban proses sistem peradilan pidana yang dicita-citakan tidak akan pernah terlaksana secara signifikan.

Bahkan secara eksplisitnya dalam konteks proses upaya paksa seperti penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, KUHAP telah memberikan batasan ketat secara limitatif baik dari prinsip dasar, alasan dan pertimbangan penangkapan, prosedur-formal hingga batas waktu yang ditentukan.

Oleh karena proses upaya paksa tersebut berhubungan dengan kebebasan hak asasi manusia seseorang, maka baik penyidik maupun anggota penegak hukum secara keseluruhan harus bertindak secara profesional, penuh pertimbangan, hati-hati dan tidak asal main tangkap tanpa didasari oleh prinsip, alasan dan prosedur hukum yang berlaku.

Kasus-kasus salah tangkap dan penangkapan sewenang-wenang oleh sejumlah oknum aparat kepolisian menunjukkan adanya masalah serius dalam kontrol dan evaluasi terhadap kinerja institusi kepolisian belakangan ini. Karena pasalnya, praktik usang salah tangkap yang dilakukan oleh beberapa aparat kepolisian telah menjadi masalah yang berulang dan kerap terjadi.

Lebih mengkhawatirkan lagi, kasus salah tangkap seringkali disertai dengan tindakan kekerasan seperti intimidasi dan penyiksaan. Dalam beberapa kasus, korban salah tangkap tidak mendapatkan pendampingan hukum yang memadai, yang semakin memperburuk kondisi mereka. Ketiadaan pendampingan hukum ini memperparah situasi dan mengurangi peluang korban untuk mendapatkan keadilan.

Menyikapi krisis kepercayaan yang saat ini tengah menggerogoti tubuh institusi kepolisian tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Publik menekankan bahwa perlu adanya upaya mendasar agar segera direalisasikan. Pembenahan dan evaluasi signifikan harus menjadi prioritas utama yang harus segera diketengahkan.

Oleh karena itu, tindakan yang diperlukan tidak hanya melibatkan evaluasi atau perbaikan mendasar terhadap institusi kepolisian secara serius, tetapi juga menghentikan pembahasan RUU Polri yang saat ini sedang berlangsung di DPR RI.

Ketimbang mengupayakan untuk mempercepat merevisi RUU Polri, legislatif maupun eksekutif seyogyanya lebih fokus pada pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP).

Upaya ini akan lebih efektif dalam memperbaiki prosedur penegakan hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan yang lebih baik serta kemajuan terhadap perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia.

Menyaksikan masifnya desakan dari masyarakat luas untuk segera memperbaiki citra institusi, tentu telah menjadi satu keharusan untuk menata ulang ekosistem penegakan hukum di lingkungan lembaga kepolisian yang benar-benar sesuai dengan arah kompas konstitusi sebagai lembaga yang mengayomi, memberikan rasa aman, ketertiban dan keadilan kepada semua warga negara.

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Yayang Nanda Budiman