Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Anik Sajawi
Gedung DPR yang bakal sepi tanpa oposisi.(Unsplash/Dino Januarsa)

Jelang pelantikan presiden terpilih Prabowo Subianto, perhatian publik tertuju pada langkah-langkah yang diambilnya dalam memilih menteri di kabinetnya belum lama ini. Deretan nama calon menteri yang muncul dalam pemanggilan tersebut menciptakan diskusi hangat di kalangan warganet. Apalagi terendus adanya praktik politik akomodasi yang dinilai kental dalam proses tersebut.

Politik akomodasi dapat diartikan sebagai strategi ketika pihak-pihak yang berbeda berusaha mencapai kesepakatan demi kepentingannya masing-masing. Geliat ini sering kali untuk mengamankan posisi dan kekuasaannya. Jika saya melihat dalam konteks pemilihan menteri, langkah Prabowo dianggap sebagai upaya untuk menyatukan berbagai kekuatan politik, menghilangkan batasan antara oposisi dan pendukung, serta meredakan potensi konflik yang mungkin muncul.

Bahkan yang terbaru, Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani sudah memastikan jika partainya akan solid mendukung pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di periode 2024 – 2029 mendatang sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih Pilpres 2024. Itu artinya DPP PDIP dengan senang hari akan masuk ke dalam gerbong pemerintahan mendatang dan tidak memilih menjadi oposisi.

Matinya Ruang Oposisi yang Kritis

Hemat saya dalam politik akomodasi itu, tampaknya tidak ada lagi ruang untuk oposisi yang kritis, karena semuanya dirangku. Seluruh partai, terlepas dari posisi mereka sebelumnya, berusaha untuk dilibatkan ikut berkontribusi dalam pemerintahan demi kepentingan masing-masing. Hal itu menciptakan kesan bahwa kepentingan individu dan kelompok lebih diutamakan ketimbang kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Kondisi tersebut bagi saya pribadi menciptakan tantangan bagi demokrasi, di mana seharusnya terdapat peran penting dari oposisi untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun dengan adanya politik akomodasi yang kuat, potensi untuk munculnya kritik yang konstruktif menjadi tereduksi, dan itu berpotensi merugikan proses demokrasi di negeri ini.

Kepentingan Elit Pengaruhi Kebijakan Publik

Ketika semua elemen politik bersatu demi kepentingan masing-masing, dampak yang dirasakan bisa jadi cukup besar. Kesejahteraan masyarakat mungkin terabaikan, karena perhatian lebih banyak tersedot ke dalam kekuasaan dan pengaruh. Alhasil, kebijakan publik yang seharusnya pro-rakyat dapat terpengaruh oleh kepentingan elit yang tidak selalu selaras dengan kebutuhan masyarakat luas.

Kondisi itu bisa saja memunculkan pertanyaan: siapa yang akan rugi dari semua ini? Tentu saja, rakyatlah yang akan menjadi korban utama. Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik dapat menciptakan ketidakpuasan yang meluas, berpotensi memicu ketidakstabilan social dan ekonomi.

Risiko bagi Masa Depan Demokrasi

Kondisi politik yang cenderung homogen itu menyimpan sejumlah risiko. Salah satunya adalah potensi pengabaian terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat. Ketika partai-partai politik mengutamakan kesepakatan dan konsensus di antara mereka, suara-suara minoritas dan perbedaan pandangan sering kali terpinggirkan. Hal tersebut dapat menciptakan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat.

Ketidakpuasan yang terus menerus dapat memicu potensi ketidakstabilan sosial. Masyarakat yang merasa diabaikan dapat beralih ke aksi-aksi protes atau bentuk perlawanan lainnya, yang dapat berujung pada konflik sosial. Pada konteks ini, pemerintah tentu masih ingat aksi Peringatan Darurat beberapa waktu lalu, tentu saja cara macam itu menjadi penting bagi rakyat untuk memiliki saluran komunikasi yang efektif untuk menyampaikan aspirasi dan kritik mereka.

Pentingnya Penyadaran Politik di Masyarakat

Penulis merasakan sendiri bagai mana masyarakat sangat abai dengan politik, bahkan tidak sedikit yang menganggapnya hanya event lima tahunan saja. Padahal di tengah tantangan Politik Akomodasi, peran masyarakat sangat krusial. Keterlibatan aktif warga dalam pengawasan politik dan kebijakan publik menjadi langkah yang sangat diperlukan.

Tentu saja dengan tetap kritis dan bersuara, masyarakat dapat berkontribusi dalam memastikan bahwa pemerintah tidak hanya mendengarkan, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi rakyat. Keterlibatan itu juga penting dalam membangun kesadaran politik. Memiliki sudut pandang yang baik tentang kebijakan yang diambil pemerintah, masyarakat dapat lebih mampu menilai dampak dari kebijakan itu dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpinnya.

Anik Sajawi