Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Anik Sajawi
Ilustrasi Stasiun Balung di Kabupaten Jember yang saat ini kondisinya terbengkalai. (Unsplash.com/Peter Herrman)

Stasiun Balung, yang beralamat di Desa Balung Lor, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember yang saat ini terbengkalai ternyata menyimpan sejarah panjang karena merupakan warisan Kolonial Belanda.

Stasiun ini menjadi saksi bisu ramainya jalur kereta api yang awalnya digunakan untuk menghubungkan Rambipuji – Balung – Puger di wilayah Selatan Jember lantaran kala itu angkutan untuk membawa hasil perkebunan sangat dibutuhkan.

Pertama kali saya kesana, saya ingat betul dengan bentuk bangunan utama stasiun yang memiliki desain khas bangunan kolonial, tembok yang tebal dan atap bangunan yang tinggi menjulang.

Menandakan betapa megahnya bangunan ini di masa lampau, usut punya usut saat saya cari data mengenai Stasiun Balung ternyata pertama dibuka pada 3 Mei 1913 oleh Staatsspoorwegen.

Pada tahun 1929, karena tingginya animo penumpang yang menggunakan kereta  di wilayah Selatan Jember. Staatsspoorwegen memutuskan untuk membuka jalur Rambipuji – Balung – Ambulu – Lumajang.

Bahkan setahun setelahnya sempat ada upaya membuka lintasan hingga Malang dengan menggaet Stopplaats Dam Tjoerahmalang, namun tampaknya upaya itu gagal dan hingga kini percabangan ke Jalur Malang adanya hanya di Kabupaten Pasuruan.

Stasiun Balung Sejarah yang Terlupakan

Mungkin jika bangunan Stasiun Balung ini berada di jalur aktif kereta api Daops 9 Jember, kondisinya tidak akan terbengkalai layaknya Stasiun Mrawan, Kalisat dan Arjasa.

Sebab diakui atau tidak alasan terbengkalainya bangunan ini tentu saja pasca jalur kereta api dari Rambipuji menuju ke Balung resmi dinonaktifkan pada 1986.

Kala itu Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) yang kini dikenal PT KAI memutuskan untuk menonaktifkan jalur ini dengan alasan perhitungan aspek bisnis yang tidak menguntungkan.

Apalagi di tahun itu perkembangan dunia transportasi memang semakin beragam dengan adanya kendaraan mobil, bus dan truk yang bisa jadi pilihan. Namun tentu saja nilai sejarah dan peran pentingnya Stasiun Balung di masa itu tidak bisa dinafikan.

Masa Kejayaan Stasiun Balung di Era 50-an

Mengutip Radar Jember, sejarawan Zainollah Ahmad menyebut jika pada masa tahun 1950-an Stasiun Balung mencapai puncak masa kejayaannya dengan okupansi penumpang yang tinggi.

Bahkan kala itu dalam setahun tidak kurang 300 ribu penumpang tercatat naik melalui stasiun ini. Alasannya tentu saja karena pada tahun itu pilihan transportasi memang tidak begitu banyak.

Bahkan di masa jayanya stasiun ini memiliki peran penting untuk distribusi hasil perkebunan di wilayah Selatan Jember dengan menjadi penghubung Rambipuji – Ambulu  via Balung.

Tidak heran sejak awal beroperasi hingga masa jayanya, Stasiun Balung memainkan peran penting dalam mobilitas masyarakat dan perdagangan di wilayah Selatan Jember.

Penurunan Jumlah Penumpang dan Penonaktifan Jalur

Pasca era kejayaannya di tahun 1950 lambat laun pilihan moda transportasi semakin beragam membuat PT KAI melakukan sejumlah kebijakan yang berimbas juga pada kondisi Stasiun Balung.

Seperti yang sudah saya singgung di atas, Stasiun Balung dibangun dengan tujuan untuk memperlancar transportasi barang dan penumpang di wilayah yang kaya akan potensi pertanian dan perdagangan.

Namun setelah masifnya kendaraan, baik truk, bus, dan mobil dirasa lebih efisien karena bisa menggunakan jalur mana pun. Stasiun ini akhirnya menemukan titik nadirnya, puncak pada tahun 1986 ketika lalu lintas penumpang mencapai penurunan yang signifikan membuat Jalur Kereta yang mengarah ke selatan di nonaktifkan.

Stasiun Balung menyusul pendahulunya, Stasiun Puger yang juga mengalami nasib serupa, terbengkalai karena penonaktifan jalur kereta.

Pemanfaatan dan Wacana Reaktivasi Jalur Kereta Api

Meski kondisinya terbengkalai, namun pemanfaatan Stasiun Balung ternyata terus dilakukan oleh masyarakat.

Setelah resmi tidak melayani kereta api, dengar-dengar kini stasiun ini dimanfaatkan untuk lokasi bertemunya penjual sepeda dan pembeli yang tergabung dalam Persatuan Dagang Sepeda Balung (PDGB) yang sempat jadi buruan salah satu teman saya yang berbisnis sepeda kala pandemi covid 19 dulu.

Namun, mengenai pertanyaan apakan akses jalur kereta api di selatan Jember akan diaktifkan kembali agar berimbas pada Stasiun Balung, tampaknya tidak. Sebab jika dilihat jalur ini memang berbeda dengan jalur kereta api Kalisat – Panarukan yang sudah digadang-gadang akan dilakukan upaya untuk reaktivasi jalur.

Alasannya tentu karena wilayah selatan mulai jalur Rambipuji – Puger pilihan moda transportasi umum macam kereta api memang sepertinya sudah tidak relevan. Selain jaraknya yang terlalu pendak, faktor efisiensi waktu untuk bepergian di jam kapan pun sepertinya lebih penting.

Terakhir pesan untuk semua warga Jember yang berkesempatan singgah ke Stasiun Balung. Bangunan stasiun ini sudah melebihi 100 tahun kawan, jadi sudah semestinya mari kita jaga bersama. Meskipun bangunan stasiun tidak lagi berfungsi, warisan sejarahnya tetap harus dilestarikan sebagai jejak sejarah kolonial di Indonesia.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Anik Sajawi