Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Ryo Zen Favian Inzaghi
Wasit Oman Ahmed al-Kaf akan pimpin laga Bahrain vs Timnas Indonesia dalam matchday ketiga Grup C putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia pada Kamis (10/10/2024) pukul 23.00 WIB. [Dok. AFP]

Laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, antara Timnas Indonesia melawan Bahrain, Kamis (10/10/24) silam, menyisakan noda hitam yang tak terlupakan. Ya, bukan gara-gara rentetan gol spektakuler atau aksi heroik di lapangan, tetapi karena keputusan-keputusan kontroversial Ahmed Al Kaf, si pengadil pertandingan.

Wasit asal Oman itu dianggap menggagalkan kemenangan tipis Timnas Indonesia dengan memperpanjang durasi perpanjangan waktu, yang seharusnya 6 menit menjadi 9 menit (atau malah menit berapa pun, pokoknya sampai Bahrain mencetak gol penyama kedudukan?). Al Kaf juga dinilai condong ke Bahrain dengan memberi banyak hukuman pelanggaran untuk Jay Idzes dkk di pertandingan yang berakhir dengan skor 2-2 itu.

Melihat ketidakadilan di depan mata, pendukung setia Timnas Indonesia emoh tinggal diam. Begitu peluit panjang dibunyikan, warganet langsung menunjukkan “patriotismenya” ke akun jejaring sosial Instagram resmi Asian Football Confederation (AFC): @afcasiancup; “PSSI”-nya Bahrain: @bahrainfa; hingga akun informasi sepakbola berskala global macam @433.

Dari pengamatan penulis, netizen Indonesia tidak sekadar melampiaskan emosinya. Mereka juga masih sempat-sempatnya melempar humor, baik itu yang dibungkus dengan satire sampai yang sarkasme.

Misalnya, akun @gamenesiahd yang menuliskan, “Tahu kan kenapa nabi turunnya di timur tengah?? Bukan di Asia atau Eropa??”, yang kemudian disambar oleh @jonnas_jasmine dengan “Karena di sana tempatnya orang-orang jahiliyah... yang harus dibenerin akhlaknya wkwk”.

Menurut klasifikasi 45 teknik humor dari Arthur Asa Berger (The Art of Comedy Writing, 1997, h.7), interaksi keduanya mengandung sindiran tajam (allusion). Candaan tersebut mengaitkan perilaku masyarakat jazirah Arab pra-Islam yang “buta hatinya” dengan kritik terhadap wasit Ahmed Al Kaf yang kurang objektif memimpin laga.

Ada juga komentar humoristis yang mengandung permainan kata atau wordplay (ibid, h.34). Contohnya, tulisan akun @adamalisahid “AFC = ARABIC FOOTBAL COMEDY… perfect comedy.” di postingan @433. Komentar ini mengisyaratkan sinisme terhadap AFC yang dianggap kurang profesional dan memihak negara-negara dari Timur Tengah.

Yang lebih ekstrem, ada komentar dari @kingmoto.id berbunyi, “Dituker aja aturan, pala wasit yang jadi bolanya.” Melalui gaya ejekan yang blak-blakan – membandingkan kualitas fisik seseorang dengan benda lain termasuk yang lebih rendah dari manusia – komentar tersebut memuat jenis humor hinaan atau insult (ibid, h.26). Kebetulan, Al Kaf memang berkepala plontos.

Dampak dari protes daring tersebut, akun resmi Bahrain Football Association sampai membatasi dan menonaktifkan kolom komentar di beberapa postingannya. Bahkan, akun Instagram si wasit kontroversial juga “dilenyapkan” oleh netizen Tanah Air, menggambarkan betapa suara kolektif dapat berpengaruh.

Dalam konteks ini, warganet memanfaatkan humor untuk menyuarakan kritik dan ketidakpuasannya. Humor tidak lagi jadi sarana lucu-lucuan saja, tetapi juga koreksi sosial dan solidaritas terhadap anak asuh pelatih Shin Tae-yong terkait ketidakadilan yang terjadi di lapangan.

Pemberontakan Jalur Humor

Menurut Michael Billig dalam Laughter and Ridicule: Towards a Social Critique of Humor (2005, h.200), humor – terutama dalam bentuk ejekan – adalah alat untuk menjaga keteraturan sosial. Ia berargumen, kalau manusia enggan mengejek, hidupnya bisa terlalu kaku bahkan kacau: yang semena-mena tidak tahu kalau dirinya salah, sementara yang dirugikan pun bersikap masa bodoh.

Dari fungsi sosialnya, Billig membagi humor menjadi dua jenis: humor yang bersifat disipliner (disciplinary humor) dan humor yang memberontak (rebellious humor). Humor disipliner biasa diberikan untuk menghukum pelanggar norma sosial, sehingga mendorong yang lain untuk mau dan tetap mematuhi aturan yang berlaku. Sedangkan humor yang memberontak digunakan untuk menantang atau mempertanyakan otoritas serta aturan yang ada (ibid, h. 202-210).

Arah kritik kedua humor tersebut pun berbeda. Humor disipliner berfungsi untuk menjaga ketertiban, semacam pesan tak langsung “kalau menyimpang dari aturan, bakal jadi bahan tertawaan!” Jadi, humor ini sebenarnya lebih melayani pihak otoritas atau status quo dengan segala regulasi sosial yang telah ditetapkannya.

Sebaliknya, humor yang memberontak justru lahir dari masyarakat yang merasa tertekan. Humor ini menyasar orang-orang berkuasa dan beragam aturan yang mengikat dengan tujuan untuk membuatnya terlihat konyol. Dengan memandang aturan secara sinis serta mencemooh kezaliman dan dosa-dosa pemimpin, publik jadi merasa punya kebebasan dan keberanian yang sifatnya sementara.

Secara fungsi sosial, kritik humoristis dari netizen Indonesia menyiratkan betapa mereka berani menunjuk adanya ketidakadilan kepada otoritas. Namun secara tidak langsung, hal ini juga menunjukkan seberapa kecil mereka di hadapan pihak yang mereka kritik. Ejekan terhadap otoritas adalah bentuk keputusasaan sekaligus terbatasnya kekuatan dan kendali publik (ibid, h.213).

Publik tidak punya daya lain selain mencaci, tapi siapa yang akan menjamin kondisi bakal berubah setelah ini?

Setidaknya, sebelum kontroversi ini mereda dan sirna dengan sendirinya, warganet Indonesia telah melawan ketidakadilan sembari membangun solidaritas yang menyenangkan: lewat humor.

*Ryo Zen Favian Inzaghi. Tulisan ini dibuat bersama peneliti humor IHIK3, Ulwan Fakhri, dalam program “Intern Science Communicator” dari Program Studi Sastra Inggris, Universitas Brawijaya-IHIK3

Ryo Zen Favian Inzaghi

Baca Juga