Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Christina Natalia Setyawati
Guru Besar Tsinghua University, Stella Christie usai mengikuti pembekalan calon wamen di Hambalang, Kamis (17/10/2024). (Suara.com/Bagaskara)

Belakangan ini, bermunculan orang-orang berprestasi ke ranah publik, baik di media sosial maupun di televisi lokal. Salah satunya, kemunculan Stella Christie. Sosok ini memantik perhatian media massa sejak dipanggil Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Dia dipanggil bersama tokoh-tokoh lain ke kediaman Prabowo di bilangan Kertanegara untuk bergabung dalam pemerintahan baru mendatang.

Berdasarkan rekam jejaknya, Stella Christie menimba pendidikan tinggi di Harvard University dan Northwestern University di Amerika Serikat. Di sana, ia meraih gelar doktor dalam bidang psikologi kognitif. Kini, Stella Christie berkarier sebagai profesor dan guru besar di Tsinghua University, salah satu universitas paling bergengsi di China.

Tak kalah mentereng, Stella Christie juga menjabat sebagai direktur Pusat Kognitif Anak Tsinghua, sebuah lembaga penelitian yang fokus pada pengembangan kognitif anak-anak. Kontribusi Stella Christie dalam bidang ilmu kognitif sangatlah signifikan. Riset-risetnya yang mendalam tentang otak dan kecerdasan telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah terkemuka dunia.

Kendati sarat prestasi dan penghargaan sebagai salah satu anak bangsa yang membanggakan, tidak sedikit warganet yang  malah menyudutkan bahkan mencemooh dengan beragam prasangka negatif. Stella diserang komentar seperti “Perkenalannya lebay banget”, “Gk yakin dengan wataknya”, “Makin dibeberin publik, malah makin ragu sama isi otaknya”, “Ga jaminan, too much talk sepertinya”, “Apakah Indonesia ini sudah dikuasai Cina?”, “Norak parah”, “Elah, Cina mulu”, dan beberapa komentar negatif lainnya.

Meski begitu, tidak semua warganet melayangkan cemooh. Sebagian besar dari mereka juga menyampaikan pujiannya atas torehan prestasi membanggakan hingga menjadi harapan besar bagi masyarakat Indonesia untuk tatanan pemerintahan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka yang lebih profesional dengan terpilihnya orang-orang seperti Stella.

Masih banyak orang yang seperti Stella atau ingin menjadi seperti beliau. Masyarakat Indonesia sebenarnya kaya akan talenta. Putra-putri terbaik bangsa kerap menorehkan prestasi di berbagai bidang, baik di tingkat nasional maupun internasional. Tapi ironisnya, apresiasi yang mereka terima seringkali tidak sebanding dengan jerih payah dan pengorbanan yang telah mereka lakukan. Mengapa hal ini terjadi?

Salah satu faktor utama adalah minimnya publikasi prestasi para tokoh ini. Media massa, yang seharusnya menjadi corong utama penyebarluasan informasi, seringkali lebih fokus pada berita-berita sensasional atau hiburan. Akibatnya, prestasi-prestasi gemilang para tokoh kita seringkali tenggelam dan terlupakan.

Selain itu, dengan banyaknya kasus dan isu-isu tindak kecurangan dan jual beli gelar yang normal di negara kita, atau perilaku menyimpang yang kebanyakan dilakukan pula oleh orang-orang bergelar tinggi, kasus korupsi, pengisian kursi bergengsi oleh orang-orang tidak kompeten yang membuat masyarakat kehilangan rasa percayanya.

Fenomena enggannya para penerima beasiswa kembali ke Indonesia adalah cerminan dari kompleksitas masalah yang melibatkan berbagai faktor. Selain faktor eksternal seperti kurangnya apresiasi dan peluang kerja, faktor internal individu juga memainkan peran penting.

Ambisi pribadi, jaringan sosial yang telah terbangun di luar negeri, serta gaya hidup yang berbeda dapat menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan untuk menetap di luar negeri. Tak jarang, mereka merasa lebih nyaman dan memiliki prospek karier yang lebih jelas di negara tujuan beasiswa.

Bagi para penerima beasiswa, keputusan untuk tinggal di luar negeri adalah dilema yang sulit. Di satu sisi, mereka ingin berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Di sisi lain, mereka juga memiliki ambisi pribadi dan ingin meraih kesuksesan karier.

Ketidakpastian akan masa depan di Indonesia seringkali membuat mereka merasa khawatir. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu memberikan jaminan kepastian bagi para profesional muda, misalnya melalui program repatriasi yang menarik dan dukungan finansial untuk memulai usaha sendiri.

Kurangnya apresiasi dan validasi terhadap prestasi dapat menimbulkan efek domino yang merugikan. Generasi muda akan merasa kurang termotivasi untuk berprestasi jika tidak melihat adanya penghargaan yang signifikan atas usaha mereka. Selain itu, hal ini juga dapat memunculkan rasa pesimis dan keengganan untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Apresiasi terhadap prestasi adalah bentuk penghargaan yang sangat penting bagi para tokoh berprestasi. Dengan memberikan apresiasi yang layak, kita tidak hanya menghargai jerih payah mereka, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk terus berprestasi dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Christina Natalia Setyawati