Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka belum juga resmi dilantik, tapi kabar tentang "kabinet gemuk" sudah bikin heboh. Kabarnya, kabinet baru ini dikabarkan akan terdiri dari 46 kementerian dengan setiap menteri memiliki 1-3 wakil.
Kalau dihitung-hitung, setidaknya 108 orang telah dipanggil untuk mengisi posisi tersebut. Ini bagaikan pesta kursi tanpa akhir, di mana kursi menteri jadi semacam "all you can eat" yang tak hanya mengenyangkan perut tapi juga ambisi politik.
Restu Presiden Jokowi melalui Undang-Undang Kementerian Negara yang diteken pada 15 Oktober 2024 jadi semacam saus spesial yang melumuri kabinet ini. UU baru tersebut menghapus batas maksimal jumlah kementerian yang semula 34 menjadi tak terbatas, mengikuti kebutuhan politik dan "visi" presiden. Rasanya seperti main monopoli, di mana setiap kali butuh jalan baru, tinggal tambah saja jalurnya. Hasilnya? Kabinet berlemak dengan kolesterol politik yang tinggi. Sehat nggak, ya, buat demokrasi kita?
Dengan bertambahnya kursi, apa yang diharapkan? Efisiensi? Rasanya itu seperti berharap dari gajah bisa menari balet. Lebih mungkin, ini sekadar ajang bagi politisi untuk berbagi "rezeki" kursi, membangun loyalitas, dan mengakomodasi kepentingan partai pendukung. Alih-alih merampingkan pemerintahan agar lebih lincah dalam mengatasi masalah bangsa, kita malah melihat fenomena "semakin gemuk semakin kuat" jadi semacam dogma baru. Padahal, bukankah pemerintahan yang baik seharusnya mengedepankan efektivitas, bukan sekadar kuantitas?
Mungkin ada yang berpikir, "Ya, siapa tahu dengan banyak kursi, solusi untuk setiap masalah bisa ditemukan lebih cepat." Tapi, benarkah demikian? Jangan-jangan, malah makin banyak kepala, makin sulit mengambil keputusan. Kalau setiap kebijakan harus melalui berlapis-lapis meja rapat dan harus menyenangkan setiap kementerian dan wakil menteri, bukan mustahil nanti malah terjadi kebingungan kolektif. Ibarat mencoba menyetir bus dengan 46 setir dan 108 pedal rem, ujung-ujungnya bisa-bisa nyungsep di pinggir jalan.
Namun, perlu diakui, langkah Prabowo dan Jokowi ini bukan tanpa alasan. Dalam dunia politik, posisi dan jabatan adalah cara untuk menjaga harmoni. Memang, dengan memberikan kursi pada semua pihak, bisa meminimalisir "drama rebutan" di belakang layar. Tapi, apa iya kita harus mengorbankan efisiensi hanya demi menjaga perasaan? Kadang, kabinet yang gemuk justru membuat kebijakan tersendat, seperti arus lalu lintas di tengah kemacetan.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap, kabinet gemuk ini benar-benar punya taring untuk menggigit persoalan bangsa, bukan sekadar "menggemukkan" diri. Sebab, pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah kebijakan yang tajam dan berani, bukan kursi empuk yang hanya nyaman untuk duduk-duduk. Jadi, buat kabinet Prabowo-Gibran nanti, semoga bisa jadi "big is better" dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar besar dalam jumlah tapi juga besar dalam tindakan nyata!
Baca Juga
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
-
Ekonomi Bahasa Gen Z! Galgah Adalah Shortcut Anti-Ribet Komunikasi
-
The New Era of Raisa! Menyelami Sisi Rapuh dan Ramai Seorang 'AmbiVert'
-
Raisa Mengubah Pasrah Menjadi Self-Respect Bertajuk Terserah di Ambivert
-
Stop Barter Kuno! Permen Bukan Mata Uang Wahai Para Tukang Fotokopi
Artikel Terkait
-
Kabinet Gendut Prabowo Buat Anggaran K/L Bengkak, Sri Mulyani Putar Otak
-
Pelantikan Prabowo Gibran Akan Diisi Sound Horeg dari Jatim? Apa Dampaknya?
-
Setelah Pelantikan Akan Ada Pesta Rakyat Prabowo-Gibran, Ini Yang Perlu Diketahui
-
Isi Ramalan Gus Dur yang Menyatakan Prabowo Subianto Jadi Presiden di Usia Tua
-
Susunan Acara Pelantikan Presiden di MPR Besok, Mulai Pagi Hingga Siang
Kolom
-
Menemukan Ketenangan di Tengah Dunia yang Selalu Online
-
Efisiensi Tanpa Overthinking: Menata Ulang Budaya Kerja Lembaga Mahasiswa
-
Singgung Profesionalisme: Vtuber ASN DPD RI, Sena Dapat Kritik Pedas Publik
-
Duet Ayah dan Anak di Pemilu: Sah secara Hukum, tapi Etiskah?
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Terkini
-
Ulasan Novel Book Shamer: Bukan Sekadar Potret Penulis Antikritik
-
Diisukan Latih Indonesia, Oscar Garcia Ternyata Miliki Kesamaan dengan STY!
-
Novel The Prodigy: Menemukan Diri di Tengah Sistem Sekolah yang Rumit
-
Dunia Sunyi: Belajar Melihat Kekuatan dari Keheningan
-
Bakal Duplikasi Taktik STY, Siapa yang Akan Dipilih Nova Arianto Jadi Jenderal Lini Tengah?