Budaya patriarki masih memberi ruang istimewa bagi laki-laki sehingga proses pendewasaan kerap berjalan lebih lambat dibanding perempuan. Pola asuh dan konstruksi sosial membuat banyak laki-laki tidak terbiasa menghadapi tuntutan emosional sejak dini.
Budaya patriarki kerap membentuk laki-laki sebagai sosok yang selalu dilayani, mulai dari urusan domestik hingga pengambilan keputusan. Tanpa disadari, pola ini membuat mereka jarang dilatih untuk bertanggung jawab secara emosional sejak usia muda.
Dalam banyak keluarga, anak laki-laki masih dianggap tidak perlu ikut mengurus rumah atau mengelola emosi karena peran tersebut dilekatkan pada perempuan. Akibatnya, kemampuan mengelola konflik, empati, dan kemandirian sering tertinggal ketika mereka beranjak dewasa.
Tekanan sosial juga turut memperparah situasi karena laki-laki dituntut tampil kuat dan tidak boleh menunjukkan kerentanan. Alih-alih belajar memahami diri sendiri, mereka justru tumbuh dengan kebiasaan memendam dan menghindari persoalan.
Fenomena ini kerap terlihat dalam relasi dewasa, baik di lingkungan kerja maupun hubungan personal. Tidak sedikit laki-laki yang baru belajar bertanggung jawab setelah dihadapkan pada krisis atau konflik besar.
Kondisi tersebut membuat relasi menjadi timpang karena beban emosional sering kali jatuh ke pihak lain, terutama perempuan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu kelelahan emosional dan konflik yang berulang.
Padahal, kedewasaan emosional bukan bawaan lahir, melainkan hasil dari proses belajar sejak kecil. Tanpa ruang untuk belajar gagal, bertanggung jawab, dan memahami perasaan, laki-laki akan kesulitan membangun relasi yang sehat.
Lantas, bagaimana cara mengubah pola yang sudah mengakar ini? Perubahan perlu dimulai dari kesadaran bahwa patriarki bukan sekadar tradisi, melainkan konstruksi sosial yang bisa dikritisi dan diubah.
Pola asuh menjadi kunci utama dengan membiasakan anak laki-laki terlibat dalam pekerjaan rumah dan pengelolaan emosi sejak dini. Memberi ruang untuk mengekspresikan perasaan tanpa stigma lemah juga penting dalam proses pendewasaan.
Di luar keluarga, lingkungan pendidikan dan sosial turut berperan membentuk cara pandang baru. Sekolah dan ruang publik perlu mendorong nilai kesetaraan serta tanggung jawab emosional tanpa membedakan gender.
Dengan langkah-langkah sederhana namun konsisten, perubahan bukan hal yang mustahil. Pendewasaan laki-laki dapat berjalan lebih sehat ketika mereka dibesarkan dalam sistem yang adil dan setara.
Baca Juga
-
Rilis Trailer, Film Alas Roban Kisahkan Teror Mistis di Hutan Angker
-
Delapan Tahun Menikah, Raisa dan Hamish Daud Resmi Bercerai
-
Bangkitkan Gelora! Saemen Fest 2025 Warnai Akhir Pekan dalam Balutan Euforia
-
Fadil Jaidi Bagikan Kisah Pilu Detik-Detik Warga Tamiang Selamatkan Diri
-
Meski Sudah Berpisah, Erika Carlina Tetap Rayakan Ulang Tahun DJ Bravy
Artikel Terkait
-
Laki-Laki Perlu Safe Space: Saatnya Lawan Bullying dari Beban Maskulinitas
-
5 Rekomendasi Novel yang Menyinggung Isu Kekerasan terhadap Perempuan
-
Di Balik Ucapan Hari Ayah: Fakta Mengejutkan Indonesia Negara dengan Tingkat Fatherless Tinggi
-
Tersandera Maskulinitas, Laki-Laki Takut Mengaku Dilecehkan
-
Aliansi Laki-Laki Baru: Lelaki Korban Kekerasan Seksual Harus Berani Bicara
Kolom
-
Marissa Anita dan Perfeksionisme: Tak Ada Ruang untuk Setengah-Setengah
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Banjir Sumatra dan Mimpi Indonesia Emas: Mau Lari ke Mana Kalau Lantainya Amblas?
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
Terkini
-
Dari Tinnitus hingga Hiperakusis: Risiko Serius di Balik Kebiasaan Memakai Headphone
-
Hemat Waktu dan Tenaga, Ini 7 Cara Efektif Membersihkan Rumah
-
4 Cleanser Korea dengan Kandungan Yuja untuk Wajah Sehat dan Glowing
-
Menopause Bukan Akhir, tapi Transisi yang Butuh Dukungan
-
Rilis Trailer, Film Alas Roban Kisahkan Teror Mistis di Hutan Angker