Hayuning Ratri Hapsari | Mira Fitdyati
Marissa Anita (Instagram)
Mira Fitdyati

Sering merasa kurang puas dengan pekerjaan yang sedang dilakukan? Selalu ingin semuanya berjalan sempurna tanpa celah? Yap, perfeksionisme.

Perfeksionisme, jika tidak dikelola dengan tepat, bukan hanya menghambat kebahagiaan, tetapi juga membuat seseorang terjebak dalam tuntutan yang tidak realistis terhadap diri sendiri. Hal inilah yang disoroti oleh Marissa Anita.

Marissa mengungkapkan bahwa perfeksionisme dengan takaran yang pas dapat menjadi motivasi untuk menjalankan sesuatu dengan sangat baik. Sikap ini mendorong seseorang terus maju menghadapi tantangan hingga mencapai tujuan.

Meski begitu, pada kenyataannya, tidak sedikit orang justru sengsara karena terjebak dalam upaya mengejar kesempurnaan.

Melalui unggahan video di kanal YouTube Greatmind pada Minggu (26/9/2021), Marissa menjelaskan pandangan Andrew Hill yang mendefinisikan perfeksionisme sebagai standar pribadi, sikap, atau pola pikir yang menuntut kesempurnaan dan menolak segala sesuatu yang dianggap kurang.

Marissa mengungkapkan bentuk perfeksionisme yang paling umum adalah memaksakan standar yang tidak realistis pada diri sendiri maupun orang lain.

Individu perfeksionis memiliki standar yang sangat ketat, disertai dorongan kuat untuk mencapai kesempurnaan dan menghindari kegagalan.

Mereka sering menjadi penilai paling keras dan hakim paling kejam bagi dirinya sendiri. Rasa berharga baru muncul ketika prestasi diraih dan pengakuan dari orang lain didapatkan.

Dalam pola pikir ini, cinta dan kasih sayang terasa bersyarat, hanya hadir ketika seseorang mampu melakukan segalanya dengan sempurna.

Akar Perfeksionisme dan Dampaknya pada Pola Pikir

Pola pikir tersebut sering kali tumbuh sejak masa kanak-kanak, terutama pada seseorang yang memiliki figur pengasuh yang lebih menekankan hasil akhir daripada proses.

Ketika nilai sempurna dipuji dan kegagalan hanya dibalas kritik, anak perlahan merasa dirinya tidak cukup baik.

Menurut peneliti Thomas Curran, perfeksionisme bukan tentang berjuang mencapai keunggulan, melainkan tentang upaya menyempurnakan diri yang dianggap tidak sempurna.

Marissa menjelaskan bahwa memiliki standar tinggi bukanlah hal yang keliru, tetapi berbeda dengan perfeksionisme. Perbedaannya terletak pada dialog batin yang kita bangun terhadap diri sendiri.

Saat menghadapi kegagalan, seorang perfeksionis cenderung memiliki target yang tidak realistis dan terjebak pada kesalahan. Kegagalan dipandang sebagai bencana, sehingga muncul kalimat-kalimat hiperkritis seperti, “Aku gagal, berarti aku adalah orang gagal secara keseluruhan.”

Sebaliknya, seseorang dengan standar tinggi yang sehat mampu menerima ketidaksempurnaan. Ketika hasil tidak sesuai harapan, ia tetap mengakui usaha yang telah dilakukan dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai pelajaran untuk berkembang.

Cara Mengelola Perfeksionisme agar Lebih Sehat

Jika sikap perfeksionis dirasa sudah mengganggu diri sendiri maupun orang lain, Marissa Anita membagikan beberapa langkah yang bisa dicoba.

Pertama, rangkul ketidaksempurnaan. Proses yang tidak sempurna adalah bagian dari kemanusiaan. Pola pikir ini membantu mengurangi tekanan dan memberi ruang untuk berpikir serta berusaha secara optimal.

Kedua, ganti kritik diri yang berlebihan dengan suara yang lebih realistis. Saat pikiran negatif muncul, sadari dan tantang pikiran tersebut.

Kegagalan dalam satu proyek tidak serta-merta menjadikan seseorang gagal sebagai pribadi. Selalu ada kesempatan untuk mencoba kembali.

Selain itu, sadari bahwa setiap usaha tetap memiliki nilai, meskipun hasilnya belum sempurna. Dari setiap proses, selalu ada pelajaran yang bisa diambil.

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, yang terpenting adalah bertanggung jawab dan belajar darinya.

Bagi para figur pengasuh, Marissa juga mengingatkan pentingnya menghindari pemberian cinta bersyarat.

Apresiasi sebaiknya diberikan pada proses, usaha, dan kerja keras anak, bukan semata pada hasil. Anak perlu merasa dicintai apa adanya, tanpa harus menjadi sempurna.

Perfeksionisme bukanlah musuh, tetapi bisa berubah menjadi beban jika dibiarkan tanpa kendali. Pada akhirnya, bertumbuh bukan soal menjadi sempurna, melainkan terus belajar menjadi lebih baik.