Beberapa hari lalu, viral kisah pencari rumput yang hilang selama sepekan di hutan Kasembon, Malang.
Cerita itu langsung mengingatkanku pada pengalaman pribadi di tahun 2018. Tidak sama persis, tapi cukup dekat untuk membuatku kembali merasa tidak tenang.
Waktu itu aku mengikuti SBMPTN dan mendapat lokasi ujian di Malang, Jawa Timur.
Seperti peserta lain, lokasi ujian ditentukan berdasarkan kode nomor. Aku kebagian di salah satu gedung UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Awalnya terdengar biasa saja.
“Tik, kamu dapat lokasi mana?” tanya Nabila.
“Aku di UIN Malang. Kayaknya satu lokasi sama anak kelas sebelah,” jawabku.
“Wah, aku di UM. Novi sama Fani di UB, beda gedung.”
“Ah, oki.”
Selepas Maghrib, aku berangkat bersama Bapak menuju Malang untuk ujian esok pagi. Sebelum berangkat, kami sempat saling bertukar pesan dan menyemangati satu sama lain.
“Bapak ngerti rutenya kan?” tanyaku.
“Ngerti. Tapi nanti lihat Google Maps aja,” jawabnya santai.
Bapak memang sering keluar kota karena pekerjaannya sebagai driver ekspedisi. Aku tidak terlalu khawatir.
Kami berangkat sekitar pukul enam sore. Jalanan ramai, dipenuhi pelajar yang tampaknya punya tujuan sama. Hujan turun, udara dingin, tapi semangatku justru makin naik.
“Habis ini masuk wilayah Malang,” kata Bapak.
“Ngopi dulu nggak? Dingin.”
Kami berhenti di sebuah warung kecil.
“Mau ke Batu, Pak?” tanya penjual.
“Mau ujian besok,” jawab Bapak.
“Oalah, pantesan tadi ramai. Hati-hati nggih, Pak. Area Kasembon jalannya gelap.”
Kalimat itu terdengar biasa. Tapi entah kenapa, aku mengingatnya.
Kami melanjutkan perjalanan. Jalan mulai naik-turun dan berkelok.
Setelah melewati gapura, Bapak berkata, “Ini sudah masuk Kasembon.”
Saat itulah suasana berubah.
Jalanan yang tadinya ramai mendadak sepi. Tidak ada kendaraan lain. Tidak ada lampu jalan. Hanya cahaya motor dan gelap yang terasa terlalu tebal. Udara semakin dingin, sampai jaket terasa tidak ada gunanya.
“Jam berapa sekarang?” tanya Bapak.
Aku menyalakan ponsel sebentar. “Jam sembilan, Pak.”
Bapak terdiam sejenak. “Oh. Sebentar lagi sampai.”
Kami terus melaju. Waktu terasa bergerak, tapi jarak seperti tidak berkurang. Aku mulai bertanya-tanya, sejak kapan jalan ini sepanjang ini?
Akhirnya kami tiba di pemukiman. Bapak berhenti di penjual bensin eceran.
“Dari mana, Pak?” tanya ibu penjual.
“Kediri,” jawab Bapak.
“Oh, Mbaknya mau ujian ya?”
Aku mengangguk.
“Berangkat jam berapa?”
“Selepas Maghrib, Bu.”
Ibu itu diam. Pandangannya beralih ke Bapak, lalu kembali ke aku. Tidak ada komentar, hanya pesan agar kami hati-hati dan banyak berdoa.
Tak lama, kami benar-benar masuk kota Malang. Ramai. Terang. Seolah dunia sebelumnya tidak pernah ada.
“Harusnya nggak selama tadi,” kata Bapak pelan.
“Kediri–Malang dekat.”
Aku membuka grup chat.
Mereka semua sudah sampai sejak jam tujuh, setengah delapan. Aku sendiri baru keluar dari Kasembon lewat jam sembilan.
Esoknya ujian berjalan lancar. Tapi rasa tidak nyaman itu tidak hilang.
Aku sempat bercerita pada Ibu. Beliau hanya berkata, “Yang penting kamu sama Bapak selamat.”
Aku mengangguk. Tapi sampai sekarang, setiap mendengar nama Kasembon, ingatanku selalu kembali ke satu pertanyaan yang tidak pernah terjawab:
"Kalau jaraknya dekat, kenapa malam itu terasa begitu lama?"
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-misteri
Terkini
-
Persiapan Buruk, Pergerakan Melenceng: Kritik Keras untuk Timnas Indonesia U-22
-
5 Tanaman Bunga yang Tidak Butuh Sinar Matahari, Cocok untuk Ruangan Indoor
-
4 HP Berkamera Leica dengan Kualitas Foto Profesional, Mulai Rp10 Jutaan
-
Pentingnya Imunitas: Panduan Lengkap Menjaga Daya Tahan Tubuh
-
Teman Manusia Jogja, Ruang Pulang untuk Berbagi dan Bertumbuh