Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi jurnalis (Pexels.com/Terje Sollie)

Seiring berjalannya waktu, media perlu beradaptasi dengan tren teknologi yang berkembang. Akibatnya, media cetak beralih ke platform digital, mengakibatkan transformasi bisnis media yang signifikan (Ekarina, 2020).

Selain persaingan bisnis yang semakin ketat, muncul istilah menarik dalam dunia media, yaitu "Homeless Media" atau "media tanpa rumah." Istilah ini muncul akibat perkembangan teknologi yang menciptakan praktik baru dalam bermedia. 

Banyaknya media baru di media sosial mendorong pengertian bahwa media sosial merupakan "rumah" bagi mereka. Transformasi digital seperti ini dianggap lebih efisien karena dapat memangkas pengeluaran, dan hal ini terbukti benar. Dari segi bisnis, konsep homeless media mampu mengurangi biaya operasional secara signifikan.

Industri media massa di Indonesia semakin berkembang dengan munculnya fenomena "homeless media," yang merujuk pada praktik jurnalistik yang berbasis di berbagai platform media sosial. 

Mereka mengumpulkan berita dari sumber lain atau masyarakat, lalu mendiskusikannya atau memicu percakapan dengan audiens. Berbeda dengan media massa yang mengandalkan halaman web utama, homeless media menyajikan konten yang beragam di berbagai saluran (Remotivi, 2017).

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam dunia digital, fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi sangat penting. Tidak hanya soal siapa yang memiliki konten terbaik, tetapi juga siapa yang mampu menyebarkan kontennya di berbagai platform dengan format menarik.

Homeless media sering kali menunggu berita yang sedang viral atau hangat diperbincangkan di media sosial untuk disampaikan.

Konten yang mereka sajikan hanya diunggah di media sosial, sehingga pengguna tidak perlu menunggu atau mengklik tautan untuk mendapatkan informasi.

Homeless media cenderung praktis dan interaktif, memungkinkan pengguna untuk berkomentar, memberikan tanda suka, atau menyebarkan konten dengan mudah.

Keunggulan homeless media terletak pada cara penyampaian informasi yang lebih kreatif dan modern, menggunakan tulisan yang sederhana dan visual yang menarik, sehingga lebih mudah dicerna oleh khalayak. 

Namun, ada juga kerugian, terutama dalam hal penulisan yang sering kali mengedepankan clickbait dan sensasionalisme untuk menarik perhatian pembaca. Ini dapat menyebabkan penyebaran informasi yang salah, menciptakan konten yang tidak kredibel.

Banyak yang meragukan apakah homeless media layak disebut sebagai media jurnalistik. Namun, dengan semakin berkembangnya internet dan teknologi, homeless media terus tumbuh dan dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi kepada publik.

Homeless media, yang tidak memiliki struktur resmi atau status hukum, dikelola oleh individu atau kelompok tanpa afiliasi formal.

Karakteristik informal ini memberikan keuntungan berupa fleksibilitas dan kecepatan, namun juga meningkatkan risiko misinformasi, hoax, dan berita palsu.

Fokus pada kecepatan dan daya tarik sering kali mengakibatkan konten yang tidak akurat, terutama ketika dikelola oleh orang-orang tanpa latar belakang jurnalistik.

Di Indonesia, konsumsi berita melalui media non-konvensional ini meningkat drastis, dengan masyarakat yang lebih menyukai berita cepat dan spesifik.

Banyak akun media sosial hanya fokus pada daerah tertentu, menawarkan kecepatan dan akurasi yang lebih baik dibandingkan media tradisional.

Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kepercayaan pada media mainstream yang dianggap tidak objektif atau cenderung berpihak.

Selain itu, individu atau kelompok komunitas juga mencari sumber berita yang relevan dengan mereka, aktivis sosial berperan dalam perkembangan homeless media ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman