Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi mesin kecerdasan buatan (Foto oleh Andrew Neel/Pexels.com)

Dalam konstelasi pendidikan tinggi, kita seolah berada di tepi jurang yang baru, di mana kecerdasan buatan (AI) bukan hanya sekedar alat, melainkan sebuah paradigma yang memaksa kita untuk mempertanyakan ulang esensi dari pendidikan itu sendiri. Di era transisi, saat Prabowo Subianto mengambil alih kepemimpinan, harapan menggantung tinggi: akankah kita mampu menjawab tantangan zaman ini dengan cara yang lebih cerdas?

Pada 21 Oktober 2024, Prabowo Subianto mengangkat Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi Sains, dan Teknologi, bersama dua wakil menteri, Stella Christie dan Fauzan. Penunjukan ketiga akademisi ini memberikan harapan baru bagi sektor Kemendikbud Ristek, mengingat kementerian ini dipimpin oleh para ahli yang kompeten di bidangnya. 

Apakah mereka merupakan kombinasi yang tepat untuk memimpin Kemendikbud Ristek selama lima tahun ke depan? Dan dapatkah kementerian baru ini menjawab beragam tantangan dalam pendidikan tinggi serta pengembangan sains dan teknologi di Indonesia? 

Presiden Prabowo Subianto telah memberikan fondasi yang kuat untuk memulai transformasi dengan menunjuk tim yang kompeten dan merestrukturisasi lembaga. Kini, kita perlu memberikan waktu agar Kementerian ini dapat membuktikan perannya dalam membangun masa depan pendidikan tinggi dan riset berkualitas di Indonesia. 

Berakhirnya masa pemerintahan Joko Widodo pada Oktober 2024 lalu menimbulkan sejumlah pertanyaan besar perihal kebijakan yang biasanya berubah seiring dengan dinamika politik, termasuk dalam bidang pendidikan. 

Selama pemerintahannya, Jokowi melalui Kemendikbud Ristek telah meluncurkan berbagai kebijakan, seperti program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, kebijakan World Class University, serta perubahan sistem karir dosen yang diatur dalam Permendikbud Ristek Nomor 44 Tahun 2024.

Tantangan Perguruan Tinggi Menghadapi Era Kecerdasan Buatan

Masalah pendidikan di Indonesia memang sangatlah kompleks. Oleh karena itu, solusinya harus bersifat sistemik. Langkah awal yang dapat dilakukan pemerintah baru ialah dengan mengubah orientasi pendidikan ke depan, membenahi regulasi hingga memperkuat budaya akademis, terutama penekanan terhadap sikap adaptif dengan ekosistem digital khususnya dalam pemanfaatan mesin kecerdasan buatan yang masih menuai perdebatan.

Kehadiran mesin kecerdasan buatan, terutama dalam bentuk perangkat generatif, telah mendesain gelombang kekhawatiran di seluruh sektor pendidikan dalam beberapa waktu terakhir. Banyak lembaga yang cemas bahwa penerapan AI akan mengancam keberlangsungan paradigma akademis yang selama ini kita anggap berharga. 

Munculnya mesin kecerdasan buatan memberikan dampak dan tantangan yang tak seragam bagi perguruan tinggi. Salah satu isu utama yang dihadapi adalah dampaknya terhadap cara berpikir dosen, mahasiswa serta kebijakan di tingkat institusi secara keseluruhan. 

Indonesia juga menghadapi tantangan lain yang menciptakan disparitas antara negara maju dan negara berkembang dalam pemanfaatan mesin kecerdasan buatan. Perbedaan standar dan regulasi antar-negara, masalah kedaulatan serta manajemen data, dan laju transformasi AI yang begitu cepat, sehingga sulit diimbangi oleh infrastruktur negara berkembang menjadi sedikit banyak tantangan yang harus siap kita hadapi ke depan.

Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil strategi proaktif dalam berbagai kerangka kolaborasi internasional untuk mengadvokasi tata kelola kecerdasan buatan yang efektif, bertanggung jawab dan sejalan dengan dengan kepentingan negara berkembang. 

Berkaca ke belakang, pendidikan tinggi kita pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang dibangun di atas tradisi dan kebiasaan yang kadang kala kaku. Namun, dalam era Artificial Intelligence tradisi tersebut harus bersedia beradaptasi.

Kita tidak bisa lagi berfokus pada pengulangan fakta semata; kita harus memproduksi kritisisme yang dapat bersaing di kontestasi global seperti apa yang diharapkan oleh pemerintah sebelumnya. 

Prabowo, dengan melantik sejumlah akademisi yang mumpuni seperti Stella Christie yang berpengalaman dalam berinteraksi secara global, telah memberikan sinyal bahwa ia memahami urgensitas kompetensi di tengah gelombangan perubahan ini. 

Namun, gelombang tantangan yang hendak dihadapi tak boleh dipandang sebelah mata. Kecerdasan buatan menawarkan akselerasi dan efisiensi yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Bagaimana kita mendidik pelajar atau mahasiswa agar tidak hanya menjadi konsumen informasi, melainkan juga produsen pengetahuan yang mampu bersaing dengan algoritma canggih? Ini merupakan tantangan yang memerlukan reformasi kurikulum yang substansial, bukan hanya sekedar “tempelan” mata kuliah tentang teknologi.

Sejumlah tantangan lain, dalam konteks pendidikan yang semakin dipengaruhi oleh mesin kecerdasan buatan, masalah privasi dan keamanan data mahasiswa menjadi isu krusial. Oleh karena itu, pemerintah ke depan perlu memastikan adanya jaminan perlindungan data pribadi yang belakangan kerap menghadapi berbagai serangan, kebocoran hingga penjualan data oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Sistem AI harus patuh terhadap regulasi dan standar privasi yang ada, serta mengaplikasi langkah-langkah keamanan yang memadai untuk melindungi data mahasiswa di seluruh Indonesia. 

Namun, sebagai pengambil arah kebijakan pemerintahan Prabowo harus waspada. Tak selamanya mesin AI adalah mesin “maha sempurna”, tetapi juga dapat menghasilkan keputusan yang bias, jika data yang dipergunakan untuk melatih model AI mengandung ketidakakuratan yang tidak disadari.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa data yang dipergunakan adalah representatif dan bebas dari bias, agar sistem mesin kecerdasan buatan dapat berkontribusi memberikan keputusan yang adil dan subjektif. 

Merangkai Harapan Arah Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Menghadapi sejumlah tantangan dan disrupsi teknologi yang tengah terjadi pada kurun waktu 10 tahun terakhir, pada tahun 2020, Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045 dirumuskan sebagai panduan kebijakan untuk pengembangan teknologi mesin kecerdasan buatan di Indonesia.

Rancangan strategi ini melingkupi 4 area khusus: etika dan kebijakan, pengembangan talenta, infrastruktur dan data, serta riset dan inovasi industri. Merujuk informasi BRIN, terdapat sejumlah bidang prioritas yang teridentifikasi: layanan kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, serta mobilitas dan kota pintar. 

Dalam strategi ini, visi AI Indonesia di-desain untuk relevan dengan visi Indonesia Emas 2045. Misi dan tujuan kebijakan terkait mesin kecerdasan buatan juga sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Untuk mencapai misi ini, kerja sama internasional menjadi salah satu fokus utama, khususnya dalam menciptakan kecerdasan buatan yang dapat dipercaya (trustworthy AI). 

Menyambut era transisi kepemimpinan baru, kita harus berani berpikir di luar kotak. Di sinilah harapan akar hidup: jika pendidikan tinggi kita mampu beradaptasi dan berinovasi, kita bisa menjadikan Indonesia sebagai “ibu kota” kecerdasan di Asia Tenggara.

Tetapi, semua itu hanya dapat terimplementasikan jika kita menempatkan etika dan integritas di garis depan. Kita tak boleh terperangkap dalam praktik yang merugikan seperti plagiarisme, produk riset yang impoten dan tak berkualitas, “ketumpulan” nalar intelektual, hingga praktik kapitalisasi publikasi yang mengeksploitasi karya akademik tanpa memberikan penghargaan yang layak.

Jadi, kita berharap akan ada sejumlah gebrakan dan langkah konkret dari pemerintahan Prabowo, berkomitmen untuk mendukung perubahan yang konsisten dan berkelanjutan. Pendidikan tinggi bukan sekedar tempat untuk mendapatkan gelar; ia adalah fondasi masa depan bangsa. Kita harus memastikan bahwa fondasi yang hendak kita bangun itu kokoh dan dapat menopang beban mesin Artificial Intelligence yang berkembang. 

Ingatlah, harapan bukan hanya susunan kata; ia adalah laksana. Mari kita gunakan momentum ini untuk bertransformasi dengan maksimal, tidak hanya berakhir pada narasi dan retorika politik, tetapi dalam tindakan yang nyata. Apakah kita sudah siap untuk membangun masa depan pendidikan tinggi yang tidak hanya relevan, tetapi juga berdaya saing di tengah ekspansi mesin kecerdasan buatan? Inilah saatnya untuk berani merangkai mimpi, dan lebih penting, berani bertindak menghadapi segala bentuk konsekuensinya. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Yayang Nanda Budiman