Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Suhendrik Nur
Ilustrasi Guru (Pexels/Max Fischer)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat yang seolah menjadi mantera usang: Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah frasa yang melambungkan nama guru setinggi langit, memuja ketulusan dan dedikasi mereka dalam mendidik generasi penerus bangsa. Namun, di balik pujian manis ini, ada realitas pahit yang tidak bisa diabaikan begitu saja—gaji mereka yang jauh dari kata layak.

Banyak orang menilai bahwa seorang guru seharusnya berlapang dada, menerima apa pun yang diberikan kepada mereka. Seolah-olah, dedikasi mereka dalam mendidik adalah panggilan suci yang harus dijalani tanpa mempertanyakan penghargaan yang layak. Tapi, sampai kapan kita akan menormalisasikan narasi ini? Sampai kapan kita akan bersembunyi di balik romantisme pengabdian dan melupakan bahwa guru juga manusia, yang punya kebutuhan sehari-hari, tanggung jawab, dan mimpi-mimpi kecil di luar ruang kelas?

Di pagi yang masih basah oleh embun, seorang guru bangun lebih awal, merapikan setumpuk rencana pelajaran, dan menyiapkan dirinya untuk hari panjang di sekolah. Ia mengajar dengan semangat, mengisi setiap jam dengan pengetahuan dan kesabaran. Selesai mengajar, ia bergegas ke pekerjaan sampingan—entah itu menjadi tutor privat, berjualan makanan kecil, atau mengajar les tambahan. Tidak karena ingin, tapi karena butuh. Butuh penghasilan tambahan agar dapur tetap mengepul, agar anak-anaknya bisa terus sekolah, dan agar dirinya bisa hidup dengan sedikit lebih tenang.

Masyarakat sering kali beranggapan bahwa guru adalah sosok yang seharusnya menerima keadaan dengan ikhlas, apalagi jika gaji mereka terbatas. Kata-kata seperti “Ini adalah panggilan jiwa” sering dilemparkan seakan-akan itu cukup untuk menutup mulut dan hati mereka yang menuntut kesejahteraan lebih. Padahal, menjadi guru bukan berarti menghapus hak dasar untuk hidup layak. Tidak ada alasan untuk menganggap wajar jika guru harus mengorbankan kebutuhan pribadi dan keluarganya demi dedikasi yang dianggap sepatutnya tanpa pamrih.

Ironisnya, banyak guru yang menahan diri dari mengeluh, khawatir akan dianggap tidak berkomitmen atau tidak punya jiwa mengabdi. Padahal, upah yang tak sebanding dengan kerja keras mereka adalah masalah yang harus diakui dan diperbaiki. Guru yang dihargai dengan layak bukan hanya akan lebih sejahtera, tetapi juga akan memiliki energi dan motivasi lebih besar dalam mengajar. Pendidikan yang berkualitas membutuhkan guru yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tenang secara finansial.

Ketika para guru bisa hidup dengan gaji yang memadai, mereka tidak lagi harus memilih antara mendidik sepenuh hati atau mencari pekerjaan tambahan demi mencukupi kebutuhan. Mereka tidak perlu merasa tertekan ketika harga kebutuhan pokok naik, atau ketika anak-anak mereka membutuhkan biaya sekolah yang lebih besar. Mereka berhak atas kehidupan yang seimbang, seperti profesi lainnya.

Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi anggapan bahwa guru harus selalu berlapang dada dan ikhlas menerima gaji yang minim. Guru adalah pilar pendidikan, fondasi bagi masa depan generasi yang lebih baik. Jika kita menginginkan pendidikan yang berkualitas, maka menghargai pekerjaan dan kebutuhan mereka harus menjadi prioritas, bukan sekadar retorika. Penghargaan bukan hanya berupa ucapan terima kasih, tetapi juga upah yang mencerminkan betapa pentingnya peran mereka dalam masyarakat.

Jadi, mari akhiri narasi lama tentang ketulusan yang menuntut pengorbanan sepihak. Mari ciptakan cerita baru di mana guru dihargai dengan layak, agar mereka bisa terus mengajar tanpa mengorbankan kesejahteraan pribadi. Sebab, di balik setiap pelajaran yang disampaikan, ada pengorbanan yang seharusnya dihargai bukan hanya dengan kata, tetapi juga dengan kesejahteraan nyata.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Suhendrik Nur