Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Suhendrik Nur
Ilustrasi guru (Pixabay/SyauqiFillah)

Pernahkah kita bertanya, buat apa menuntut ilmu setinggi langit, memeras otak selama bertahun-tahun demi gelar dan sertifikasi, jika akhirnya pilihan menjadi guru tidak menjamin masa depan yang lebih layak? Pertanyaan ini mungkin pahit, tetapi kenyataan di lapangan lebih pahit lagi.

Menjadi guru adalah pilihan hati, sebuah pengabdian yang seharusnya membawa kebanggaan dan penghargaan. Namun, faktanya, banyak guru menghadapi realitas bahwa gaji yang mereka terima tak cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya.

Sementara itu, tekanan pekerjaan semakin bertambah, ditambah lagi dengan isu hukum yang menimpa profesi mereka belakangan ini.

Dari pagi hingga sore, guru menghabiskan waktu untuk mendidik, memimpin kelas, dan memupuk semangat belajar anak-anak.

Di luar jam sekolah, pekerjaan mereka masih berlanjut: memeriksa tugas, menyiapkan bahan ajar, menghadiri rapat, dan terkadang mendampingi kegiatan ekstrakurikuler.

Semua ini dilakukan dengan senyum dan kesabaran, meskipun dalam hati mereka sering kali bertanya, “Apa yang akan kudapatkan dari semua ini?”

Gaji yang diterima guru di banyak tempat jauh dari layak. Di kota-kota besar, dengan biaya hidup yang terus meroket, gaji seorang guru bahkan bisa lebih rendah daripada pengeluaran bulanan yang mereka butuhkan.

Di daerah pedesaan, kondisinya lebih menyedihkan, dengan guru honorer yang penghasilannya bahkan sering tidak mencapai upah minimum.

Ini bukan sekadar angka; ini adalah keseharian yang membuat banyak guru harus mencari pekerjaan sampingan, dari mengajar les privat hingga berjualan online, demi menutupi kebutuhan sehari-hari.

Lalu, di mana letak keadilan bagi mereka yang menghabiskan bertahun-tahun untuk menempuh pendidikan, mengasah keterampilan, dan memperdalam ilmu demi menjadi pendidik?

Kekecewaan ini perlahan merayap menjadi penyesalan dan akhirnya mengubah cita-cita mereka yang dulu mulia menjadi beban. Para guru mulai bertanya-tanya: Apakah semua pengorbanan ini sepadan dengan masa depan yang diimpikan?

Masalah ini menjadi lebih kompleks dengan adanya tekanan hukum yang baru-baru ini menghangat. Peraturan dan kebijakan yang sering kali tidak berpihak pada guru membuat mereka rentan terhadap tuntutan hukum ketika menghadapi tantangan di kelas.

Dari kasus-kasus kecil yang berakhir di pengadilan hingga aturan yang membuat guru merasa terancam saat harus mengambil tindakan disiplin, semua ini menambah lapisan stres di profesi yang sudah berat.

Tidak mengherankan jika perlahan-lahan, keinginan untuk menjadi guru mulai surut. Prospek masa depan yang tidak menentu, gaji yang tak sebanding, dan beban psikologis yang besar membuat orang mempertimbangkan ulang pilihan karier ini.

Maka, jika suatu hari nanti kita melihat jumlah guru yang semakin berkurang, jangan terkejut. Ini adalah hasil dari bertahun-tahun mengabaikan kesejahteraan mereka, dari membiarkan retorika “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi dalih untuk menahan kenaikan upah dan dukungan yang seharusnya.

Kita tidak bisa terus menutup mata pada kenyataan bahwa mereka yang mengajar dan membentuk generasi masa depan juga berhak atas masa depan yang layak.

Jika masyarakat dan pemerintah tidak segera menyadari pentingnya menjaga kesejahteraan guru, kita mungkin akan dihadapkan pada krisis pendidikan yang lebih besar.

Guru bukan hanya penyampai materi pelajaran, tetapi fondasi moral dan intelektual bangsa. Jika mereka berhenti, siapa yang akan mengambil alih peran ini?

Sudah saatnya kita berhenti meromantisasi pengorbanan mereka dan mulai memperjuangkan kebijakan yang mendukung kesejahteraan guru, demi masa depan pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Suhendrik Nur