Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Alfino Hatta
Thrifting alias belanja baju bekas di Pasar Senen. (Fajar/Suara.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaan membeli pakaian bekas, atau yang lebih dikenal dengan thrifting, telah mengalami lonjakan yang signifikan di kalangan anak muda.

Aktivitas yang dulunya dipandang semata-mata sebagai cara untuk mendapatkan barang murah kini berubah menjadi bagian dari gaya hidup yang digemari, menawarkan solusi bagi mereka yang ingin tampil modis tanpa harus merogoh kantong dalam.

Lebih dari sekadar tren fashion, thrifting dikaitkan dengan upaya keberlanjutan, konsumen dapat menemukan produk-produk dari merek lokal hingga internasional dengan harga yang relatif terjangkau.

Namun, di balik popularitasnya, muncul perdebatan mengenai dampak thrifting terhadap keberlanjutan dan ancaman yang mungkin ditimbulkan bagi industri lokal.

Alasan di Balik Popularitas Thrifting

Kebanyakan penggemar thrifting, terutama anak muda, tertarik pada kesempatan untuk menemukan barang-barang unik dan langka yang mungkin tak tersedia di pasar fashion umum.

Pakaian bekas yang ditawarkan di berbagai pasar loak, toko barang bekas, maupun platform daring memberikan pengalaman berbelanja yang berbeda.

Berbeda dengan toko pakaian konvensional, koleksi cenderung seragam, thrifting menawarkan keunikan dan keaslian yang sulit ditemukan di tempat lain.

"Harga lebih terjangkau, dan ukuran yang pas bisa ditemukan, apalagi sebagai siswa SMA dengan tinggi 180 cm. Saya tidak terlalu memperhatikan merek, yang penting pakaian tersebut nyaman dan enak dipakai. Kekurangannya, harga sering kali dipengaruhi oleh promosi yang kadang tidak sesuai, seperti pada merek H&M yang harganya cenderung mahal. Lebih baik membeli pakaian thrift karena lebih murah dan tidak berkontribusi pada sampah tekstil seperti fast fashion," ungkap Adin, seorang siswa penggemar thrifting yang ditemui di sekolah menengah kejuruan, SMK Tunas Media.

Selain itu, thrifting memberikan pengalaman berburu yang memikat. Meskipun pembeli harus lebih cermat dalam memilih barang agar tidak mendapatkan produk yang rusak, sensasi mencari barang langka dan kesempatan menawar harga menjadi bagian dari daya tarik utama thrifting. Ini menciptakan pengalaman belanja yang tidak hanya ekonomis, tetapi juga penuh petualangan.

Thrifting juga memberi ruang bagi konsumen untuk mengekspresikan gaya pribadi mereka. Banyak pakaian bekas yang berasal dari era sebelumnya, menawarkan desain unik yang tidak lagi diproduksi oleh industri fashion modern.

Bagi pencinta fashion, ini adalah cara untuk menciptakan penampilan orisinal tanpa terikat oleh tren yang sedang berlangsung di pasar massal.

Dampak Positif Thrifting bagi Lingkungan dan Ekonomi

Salah satu argumen kuat yang mendukung thrifting adalah kontribusinya terhadap pengurangan limbah tekstil.

Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), industri fashion menyumbang sekitar 10% dari total emisi karbon global, menjadikannya salah satu kontributor terbesar pencemaran lingkungan.

Dengan thrifting, konsumen berperan dalam mengurangi permintaan produksi pakaian baru, yang pada gilirannya membantu menekan konsumsi sumber daya alam dan jejak karbon.

Bagi kelompok dengan daya beli terbatas, seperti mahasiswa dan pekerja muda, thrifting menjadi solusi fashion yang sangat ekonomis. Dengan harga yang lebih terjangkau, mereka mampu membeli pakaian berkualitas dari merek ternama yang mungkin di luar jangkauan jika dibeli dalam kondisi baru.

Teknologi digital juga memainkan peran besar dalam mempopulerkan thrifting. Media sosial seperti Instagram dan TikTok memberikan panggung bagi para influencer dan content creator untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan ini.

Konten-konten yang menampilkan hasil temuan thrift dan tips fashion berkelanjutan berhasil menarik minat lebih banyak orang, menciptakan komunitas yang mendukung praktik fashion yang lebih sadar lingkungan.

Tantangan yang Dihadapi Para Thrifter

Di balik manfaat thrifting, terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Salah satu masalah utama adalah kualitas barang yang tidak selalu dalam kondisi optimal. Pakaian bekas berisiko terkontaminasi bakteri atau kuman jika tidak dibersihkan dengan benar sebelum dijual kembali.

Selain itu, popularitas thrifting yang terus meningkat justru dapat menyebabkan kenaikan harga, yang bertentangan dengan esensi thrifting sebagai alternatif yang terjangkau.

Dampak lain yang perlu dicermati adalah tekanan yang diberikan thrifting terhadap industri garmen lokal. Sebagian besar pakaian bekas yang dijual di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berasal dari negara-negara maju.

Murahnya harga pakaian bekas ini sering kali membuat produk lokal sulit bersaing, baik dari segi harga maupun daya tarik. Akibatnya, bisnis-bisnis kecil yang memproduksi pakaian baru dapat mengalami kesulitan bertahan, sehingga mengancam keberagaman produk di pasar domestik.

Thrifting dan Konsumen Kreatif

Di balik narasi thrifting sebagai bentuk konsumsi yang lebih berkelanjutan, terdapat ironi yang tidak bisa diabaikan. Konsumen mungkin terjebak dalam pola konsumsi berlebihan, membeli pakaian dalam jumlah besar hanya karena harganya murah, tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata.

Akibatnya, tujuan awal thrifting—untuk mengurangi konsumsi dan mendukung fashion berkelanjutan—justru bisa terganggu.

Dari perspektif global, thrifting juga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan ekonomi. Negara-negara maju sering kali menggunakan negara berkembang sebagai pasar untuk membuang kelebihan pakaian bekas mereka, tanpa memperhatikan dampak ekonomi yang ditimbulkan.

Ketergantungan pada impor pakaian bekas dapat melemahkan daya saing produsen lokal, yang pada akhirnya memperburuk ketidaksetaraan ekonomi antara negara maju dan berkembang.

Thrifting sebagai Peluang Ekonomi dan Solusi Berkelanjutan

Terlepas dari tantangan yang ada, thrifting tetap menawarkan peluang besar, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah. Bisnis thrift dapat dimulai dengan modal yang relatif kecil, karena barang-barang bekas dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti donasi, pasar loak, atau pembelian grosir.

Setelah disortir dan dibersihkan, pakaian tersebut dapat dijual kembali kepada konsumen yang mencari alternatif fashion yang ekonomis dan ramah lingkungan.

Namun, untuk bersaing di pasar thrifting yang semakin kompetitif, pelaku usaha harus mampu menawarkan nilai tambah. Kurasi barang yang baik, penjualan pakaian bermerek, dan layanan pelanggan yang memuaskan menjadi faktor penting dalam menarik minat pembeli.

Tantangan lainnya adalah memastikan kualitas barang yang dijual, karena pakaian bekas sering kali memerlukan perbaikan atau restorasi sebelum siap dijual kembali.

Mencari Keseimbangan Antara Thrifting dan Industri Lokal

Dalam menghadapi perkembangan thrifting yang pesat, penting bagi konsumen dan pelaku usaha untuk mencari keseimbangan antara mendukung tren thrifting dan melindungi industri lokal.

Konsumen diharapkan lebih bijak dalam memilih barang yang mereka beli, baik pakaian bekas maupun baru. Dengan mengutamakan kualitas dan kebutuhan, bukan hanya karena murahnya harga, kita dapat memastikan bahwa thrifting tetap menjadi solusi yang berkelanjutan.

Pemerintah dan komunitas setempat juga perlu berperan aktif dalam menciptakan sinergi antara pelaku usaha thrifting dan industri lokal.

Acara pameran yang menggabungkan produk thrift dan produk lokal dapat menjadi salah satu cara untuk menjaga keseimbangan dan menciptakan ekosistem bisnis yang saling mendukung.

Dengan demikian, konsumen memperoleh lebih banyak pilihan, sementara bisnis lokal tetap dapat berkembang di tengah tren thrifting.

Pada akhirnya, thrifting membawa dampak yang beragam, baik positif maupun negatif. Sebagai solusi fashion yang lebih terjangkau dan ramah lingkungan, thrifting menawarkan alternatif yang menarik bagi konsumen yang sadar akan dampak lingkungan dan ekonomi dari pilihan mereka.

Namun, tantangan yang muncul, seperti dampaknya terhadap industri lokal dan risiko konsumerisme berlebihan, tidak boleh diabaikan.

Dengan pendekatan yang bijak dan kolaboratif, thrifting dapat menjadi bagian dari solusi untuk menciptakan ekosistem fashion yang lebih berkelanjutan.

Dalam hal ini, peran konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah sangat krusial dalam menjaga keseimbangan antara konsumsi yang bertanggung jawab dan dukungan terhadap keberlanjutan ekonomi lokal serta global.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Alfino Hatta