Di tengah kesibukan perkuliahan, tak jarang mahasiswa merasa terjebak dalam situasi yang mengharuskan mereka mencari jalan pintas.
Salah satunya adalah praktik titip absen, yakni saat mahasiswa meminta temannya untuk mengisi absen atau hadir atas namanya, meskipun ia tidak datang ke kelas.
Fenomena ini memang tidak bisa dipandang remeh, karena sering kali muncul sebagai solusi sementara bagi mahasiswa yang terjepit oleh jadwal padat atau kegiatan lain yang tak bisa ditinggalkan. Namun, di balik kenyamanan saat itu, ada dampak yang dapat merusak integritas akademik.
Mengapa praktik ini sering terjadi? Salah satu penyebab utama adalah tuntutan waktu yang tidak seimbang. Banyak mahasiswa yang harus membagi waktu antara kuliah, tugas, pekerjaan paruh waktu, dan kegiatan lainnya.
Ketika satu hal mendesak, misalnya pekerjaan paruh waktu, bersinggungan dengan jadwal kuliah, titip absen sering kali dipandang sebagai cara mudah untuk "selamat" dari ketidakhadiran.
Selain itu, ada juga faktor rasa solidaritas antarteman. “Ya sudah, titip absen saja, nanti giliran aku yang bantu,” begitu sering terdengar di kalangan pelajar. Praktik ini, meski terkesan kecil, sering kali dianggap sebagai bentuk saling membantu antar teman.
Namun, apakah rasa solidaritas ini selalu sejalan dengan etika akademik yang berlaku di kampus? Tentu saja tidak. Meskipun terlihat seperti bentuk perhatian, titip absen sebenarnya melanggar prinsip dasar perkuliahan, yaitu kehadiran sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Dalam banyak kasus, kehadiran siswa di kelas tidak hanya sekadar tanda hadir, tetapi juga bagian dari interaksi langsung dengan dosen dan teman-teman sekelas yang berperan dalam pembelajaran. Dengan titip absen, mahasiswa secara tidak langsung mengabaikan kesempatan untuk belajar secara maksimal.
Dampak jangka panjang dari praktik titip absen ini bisa cukup besar. Meskipun mungkin tidak terlihat secara langsung, ketidakhadiran yang terulang secara berulang kali dapat mempengaruhi pemahaman materi yang disampaikan dalam perkuliahan.
Terlebih lagi, mahasiswa yang sering kali absen cenderung kehilangan keterlibatan dalam diskusi kelas dan kesempatan untuk bertanya langsung kepada dosen.
Tanpa pertemuan fisik, mereka menjadi kurang terhubung dengan materi yang diajarkan, yang akhirnya mempengaruhi pemahaman dan nilai akademik.
Selain itu, praktik titip absen juga dapat merusak integritas akademik mahasiswa itu sendiri. Jika dosen atau pihak kampus mengetahui adanya kebiasaan ini, meski dalam lingkup kecil, dampaknya bisa menurunkan kepercayaan terhadap mahasiswa.
Integritas yang dibangun selama perkuliahan menjadi terganggu, dan hal ini bisa mempengaruhi reputasi siswa tersebut dalam jangka panjang, baik di kampus maupun saat mencari pekerjaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, hal ini bisa berakhir pada sanksi akademik jika dilakukan secara terang-terangan.
Di sisi lain, praktik ini juga menunjukkan adanya ketidakpahaman sebagian siswa terhadap pentingnya peran dalam proses belajar. Mereka lebih fokus pada angka-angka di laporan absensi daripada pada kualitas pembelajaran yang mereka terima.
Padahal, keberadaan di kelas bukan hanya sekedar hadir, tetapi juga tentang partisipasi aktif dan keterlibatan dalam setiap sesi perkuliahan. Dengan cara ini, mereka sebenarnya merugikan diri mereka sendiri, meskipun dalam jangka pendek merasa diuntungkan.
Fenomena titip absen ini menggambarkan dilema antara kebutuhan akan kesalahan dan komitmen terhadap integritas akademik.
Mahasiswa memang dihadapkan pada berbagai tekanan, namun tetap ada jalan untuk menyeimbangkan semua itu tanpa mengorbankan nilai-nilai akademik. Mengatur waktu, berkomunikasi dengan dosen, dan menghargai proses belajar adalah hal-hal yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Praktik titip absen, meski mungkin tampak sepele, adalah mengingatkan bahwa integritas akademik harus dijaga, karena dampaknya bisa jauh lebih besar daripada yang terlihat saat ini.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Artikel Terkait
-
Apa Plus Minus Kuliah di Bali? Tak Hanya Bisa Belajar sambil Wisata, Ini Alasan Orang-orang Tak Pilih Pulau Dewata
-
6 Perbedaan Masa Sekolah dan Kuliah: Persiapan Menuju Dunia Nyata
-
Mahasiswa Ini Ciptakan Aplikasi yang Hubungkan Orangtua-Anak Jarak Jauh, Raih Juara di Kompetisi Internasional
-
Seni Tato di Kalangan Mahasiswa Yogyakarta: Antara Ekspresi Diri dan Stigma
-
Magang untuk Cari Pengalaman, tapi Dituntut Punya Pengalaman?
Kolom
-
Akar Masalah Bullying: Sering Diabaikan, Lingkungan, dan Psikologi Keluarga
-
Bongkar Luka Bullying: Belajar dari Drama 'The Glory' dan Realitas Saat Ini
-
Ada Peran Orang Tua Cegah Potensi Anak Jadi Pelaku Bullying, Ajarkan Empati!
-
Suara Nelayan Tenggelam: Bertahan di Tengah Banjir Izin Industri
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
Terkini
-
Rentetan Bullying Hingga Kekerasandi Sekolah, Bagaimana Peran Pendidik?
-
EXO Hidupkan Lagi Konsep Superpower di Trailer Album Penuh ke-8, REVERXE
-
Tembus 5 Juta Penonton, Agak Laen 2 Jadi Film Indonesia Terlaris Kedua 2025
-
Hadapi Filipina, Timnas Indonesia Jangan sampai Senasib dengan Myanmar
-
John Heitinga Dirumorkan Latih Timnas Indonesia, Rekam Jejaknya Cemerlang?