Program bantuan sosial (bansos) sejatinya dirancang untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, terutama di masa-masa sulit seperti pandemi atau krisis ekonomi.
Namun dalam praktiknya, bansos sering kali berubah fungsi menjadi alat politik. Bukannya menjadi penyelamat bagi rakyat kecil, bansos justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mendulang popularitas dan dukungan. Apakah ini bentuk kepedulian, atau hanya strategi licik demi suara?
Fenomena ini tak jarang terlihat menjelang pemilu. Penyaluran bansos tiba-tiba meningkat, dan kemasan bantuan dekorasi dengan nama atau foto tokoh politik tertentu.
Narasi yang diangkat pun seolah menggiring pendapat bahwa tokoh tersebut adalah “pahlawan” bagi masyarakat. Padahal, anggaran bansos berasal dari uang rakyat, bukan dari kantong pribadi. Lalu, mengapa kreditnya jatuh pada individu tertentu?
Lebih dari itu, distribusi bansos juga sering kali tidak merata dan tidak transparan. Mereka yang benar-benar justru membutuhkan luput dari perhatian, sementara pihak-pihak yang memiliki afiliasi politik tertentu lebih diutamakan.
Tak sedikit pula laporan mengenai bansos yang dikurangi kualitas atau kuantitasnya demi kepentingan pribadi. Di sinilah letak masalah utamanya: bantuan yang seharusnya bersifat netral berubah menjadi alat manipulasi.
Dampaknya jelas: masyarakat yang rentan justru semakin terpinggirkan. Ketidakadilan ini memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan program-program sosial.
Apalagi jika skandal bansos yang melibatkan korupsi atau penyelewengan anggaran mencuat, kredibilitas negara sebagai pelindung rakyat semakin dieksplorasi. Bukankah bantuan seharusnya menjadi hak, bukan alat tawar-menawar?
Kritik terhadap praktik ini pun bermunculan, namun penerapan regulasi yang ketat masih sangat minim. Upaya untuk mengatur pendistribusian bansos secara transparan dan bebas dari politisasi sering kali terbentur oleh birokrasi yang rumit atau tidak adanya pengawasan. Tanpa mekanisme yang jelas, polemik ini hanya akan menjadi lingkaran setan.
Solusinya? Pertama, perlu ada aturan yang tegas melarang penggunaan bansos untuk kepentingan kampanye politik. Kedua, pengawasan independen dalam penyaluran bansos harus diperkuat, misalnya dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau komunitas lokal. Terakhir, masyarakat juga perlu lebih kritis dan berani menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di lapangan.
Jika tidak, polemik bansos akan terus menjadi potret ironis dari sistem politik kita. Apakah kita akan membiarkan bantuan sosial, yang seharusnya menjadi hak rakyat, terus dimanfaatkan sebagai alat politik? Atau, apakah kita siap memperjuangkan keadilan yang sebenarnya? Itu adalah pertanyaan besar yang harus dijawab bersama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
Artikel Terkait
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
-
Pakai Baret Oranye, Anies Baswedan Resmi Dukung Pramono-Rano Karno
-
Akui Politik Uang di Pemilu Merata dari Sabang sampai Merauke, Eks Pimpinan KPK: Mahasiswa Harusnya Malu
-
Sebut Deflasi Bikin Politik Uang Makin Sulit Diberantas, Mantan Pimpinan KPK: Kita Tak Boleh Alami Multi-Krisis
-
Kekayaannya Belasan Miliar, Emil Dardak Larang Arumi Bachsin Pakai Perhiasan Murah : Bikin Malu
Kolom
-
Matcha, Labubu, dan Buku Feminist: Saat Cowok Jadi Performative Male
-
Polaroid Gemini AI: Kreativitas atau Objektifikasi Terselubung
-
Batas Sehat Ketergantungan dalam Budaya Kolektivisme Masyarakat Indonesia
-
Bencana yang Berulang, Apakah Kita Benar-Benar Siap Menghadapi Hujan Deras?
-
Pipi Balon: Tren Selfie Receh Gen Z yang Mengubah Cara Kita Berkomunikasi
Terkini
-
Suara Bisikan Virtual: Cara Gen Z Redakan Insomnia dengan ASMR
-
Alam, Pelarian Tenang Anak Muda dari Hiruk Pikuk Dunia
-
Standar Hidup Ala TikTok: Keren di Luar, Capek di Dalam?
-
Bukan Cuma Gagal Lolos, Timnas U-23 Juga Ditikung Tim Medioker ASEAN di Jalur Runner-up Terbaik
-
Pertarungan Penuh Darah di Serial Last Samurai Standing, Ini Teasernya