Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membagikan makan siang bergizi kepada siswa SDN 103 Inpres Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu 13 November 2024 [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

Perdebatan mengenai sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) terus bergulir di tengah masyarakat. Kebijakan yang digadang-gadang sebagai upaya pemerataan akses pendidikan ini ternyata memunculkan berbagai persoalan kompleks yang berdampak langsung pada kualitas pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. 

Beberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, menyampaikan permintaannya kepada Mendikdasmen agar menghapuskan sistem zonasi yang berlaku selama ini. Di media sosial, banyak masyarakat menyalurkan pendapatnya, sebagian besar menyatakan sangat setuju dengan hal ini.

"Yes, setuju. Tolong itu yang jual beli bangku sekolah dipersempit."

"Setuju. Saya sebagai seorang guru sangat setuju karena ada unsur ketidakadilan dalam sistem zonasi."

"Setuju. Biar sekolah negeri tetap ada yang favorit, isinya anak-anak yang berprestasi jadi menumbuhkan semangat persaingan sehat seperti dulu."

"Kembalikan seperti semula saja, Mas Gibran. Pakai sistem tes, baik dari SD, SMP, maupun SMA."

"Mantap, tidak perlu lagi ada pengajuan ganti KK ketika anak mau disekolahin. Kita bebas memilih. Kalau bisa menggunakan nilai UN menuju sekolah yang diinginkan."

"Setuju, Pak! Biar yang berprestasi bisa berbondong-bondong ke sekolah favorit, bukan berbondong-bondong pindah KK biar masuk sekolah favorit gara-gara zonasi."

"Gass poll. Selain itu, juga ada yang perlu diawasi bersama ketika sistem zonasi sudah dihapuskan, tuku kursi (beli kursi)."

"Baguslah, saya setuju. Biar nggak hanya orang berduit aja yang masuk sekolah favorit. Lamongan terkenal megilan sogokanne."

"Kalau saya setuju. Hanya harus dibenahi saja sistemnya agar tak koruptif dan memperkaya oknum. Kasian anak yang potensial masuk ke sekolah yang lingkungannya tidak mendukung maka tidak akan berkembang, anak-anak potensial harus ditempatkan di kondisi yang mendukung kecerdasannya, enrichment bukan malah di-impoverishment. Dihilangkannya sistem zonasi juga akan menstimulus jiwa kompetisi anak yang menurut saya di generasi sekarang sangat kurang karena sistem tidak memacu anak untuk berjuang menjadi yang paling terbaik."

Intinya, banyak orang tua yang mengeluhkan anak-anak mereka yang sulit mendapat sekolah yang berkualitas dan diinginkan karena kebijakan ini. Selanjutnya banyak juga yang menyoroti permainan kotor di balik kebijakan-kebijakan sekolah.

Masyarakat juga berpendapat bahwa sistem zonasi justru membuat anak-anak malas memperjuangkan nilai bagus dalam persaingan sehat untuk masuk ke sekolah yang mereka inginkan. "Pasti masuklah, kan sekolahnya dekat. Pintar bodoh nggak ada bedanya."

Sistem zonasi, secara teoretis, dirancang untuk memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh siswa untuk mengakses pendidikan berkualitas tanpa memandang status sosial ekonomi.

Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi ketimpangan akses pendidikan dan mencegah terjadinya segregasi sosial di lingkungan sekolah.

Namun, dalam praktiknya, implementasi sistem zonasi seringkali menghadapi berbagai kendala yang menghambat pencapaian tujuan tersebut. 

Salah satu permasalahan utama yang muncul adalah kualitas pendidikan yang tidak merata di setiap zona. Meskipun zonasi bertujuan untuk mendorong peningkatan kualitas seluruh sekolah, kenyataannya masih banyak sekolah yang fasilitas dan kualitas pengajarnya belum memadai.

Akibatnya, siswa yang terzonasi di sekolah tersebut terpaksa menerima kualitas pendidikan yang kurang optimal. Selain itu, zonasi juga dapat membatasi pilihan bagi siswa dan orang tua, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dengan pilihan sekolah yang terbatas.

Beban yang ditanggung oleh orang tua juga menjadi salah satu dampak negatif dari sistem zonasi. Jarak sekolah yang jauh dari tempat tinggal sering kali memaksa orang tua untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi dan biaya hidup di sekitar sekolah. Hal ini tentu saja menjadi beban tersendiri bagi keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu. 

Di sisi lain, penghapusan sistem zonasi juga memiliki sejumlah risiko. Salah satunya adalah kembalinya praktik jual beli bangku dan diskriminasi dalam penerimaan siswa baru.

Sekolah favorit akan kembali menjadi incaran, sementara sekolah yang kurang diminati akan semakin sepi peminat. Hal ini dapat memperparah ketimpangan kualitas pendidikan dan memperkuat segregasi sosial.

Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas seluruh sekolah, baik dari segi sarana prasarana, tenaga pengajar, maupun kurikulum.

Selain jalur zonasi, perlu ada jalur penerimaan lain yang mempertimbangkan prestasi akademik, bakat khusus, dan afirmasi bagi siswa dari keluarga kurang mampu.

Pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap dan akurat mengenai kualitas setiap sekolah, sehingga orang tua dapat membuat pilihan yang lebih tepat. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan dan pengembangan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati