Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi S Line (Pexels/Kevin Reyes)

Drama Korea terbaru S Line yang tayang di Wavve dan dibintangi oleh Lee Soo Hyuk, Lee Da Hee, dan Arin (Oh My Girl) ini sedang menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, drama ini secara gamblang mengangkat konsep S Line yang selama ini sering dibicarakan, tetapi dalam bentuk visual yang jauh lebih ekstrem dan memicu pertanyaan.

S Line mengusung genre fantasi-thriller yang diadaptasi dari webtoon populer karya Kkomabi (yang juga sukses dengan "A Killer Paradox").

Premis utamanya sangat provokatif: ada garis merah misterius yang muncul di atas kepala setiap orang. Garis ini, yang disebut S Line, secara visual menghubungkan mereka dengan semua orang yang pernah memiliki hubungan seksual dengannya.

Karakter utama, Shin Hyun Heup (diperankan Arin), adalah seorang siswi SMA yang sejak lahir memiliki kemampuan langgeng melihat garis-garis ini, bahkan tanpa alat bantu. Namun, kemampuannya ini berubah menjadi beban saat orang lain juga bisa melihat garis-garis tersebut jika mengenakan kacamata khusus.

Drama Korea S Line memang berhasil memicu diskusi tentang privasi dan seksualitas dengan premisnya yang berani. Namun, kegelisahan baru muncul ketika S Line tak hanya menjadi cerita fiksi di layar kaca, tetapi juga menjelma menjadi tren media sosial di dunia nyata.

Jika Anda menjelajahi platform seperti TikTok atau Instagram dan mengetik kata kunci S Line, Anda akan menemukan banyak pengguna yang ikut-ikutan membuat garis merah buatan di atas kepala mereka, meniru konsep drama tersebut. 

Tentu saja, tren ini memunculkan kekhawatiran serius tentang moralitas dan etika. Apakah ini indikasi bahwa moral anak muda semakin tipis dan terkikis? Apakah konsep seperti seks bebas semakin dianggap normal dan bahkan menjadi bahan kompetisi yang dipertontonkan?

Melihat fenomena ini, kita seolah menyaksikan perlombaan siapa yang punya S Line paling banyak. Ironisnya, alih-alih merasa malu atau menjaga privasi, justru ada semacam kebanggaan semu yang ditampilkan. 

"Ini mereka tahu makna S Line nggak sih?" komentar salah satu pengguna media sosial. Pertanyaan serupa banyak dilontarkan warganet. Perkara tren aneh yang bisa jadi benar atau bisa jadi hanya jokes belaka.

Tapi bukankah semua ada dampaknya? Misalnya, ketika orang terdekat menjadi followersmu dan kamu mengikuti tren ini. Bukankah pandangan mereka tentangmu menjadi negatif?

Secara harfiah, "S-line" dalam konteks budaya umum  biasanya merujuk pada lekuk tubuh ideal wanita, tetapi dalam konteks yang kita bahas, ia mengambil makna yang sangat berbeda. Ini bukan lagi tentang fisik, melainkan tentang "jejak" atau riwayat hubungan seksual seseorang, yang sering kali diungkapkan secara implisit maupun eksplisit melalui dialog atau narasi dalam drama.

Misalnya, karakter yang digambarkan memiliki "S-line" tinggi sering kali ditampilkan sebagai sosok yang berpengalaman, karismatik, dan sering kali menjadi pusat perhatian romantis.

Sebaliknya, karakter dengan "S-line" rendah (atau bahkan nol) sering kali digambarkan sebagai sosok yang naif, pemalu, atau bahkan kurang menarik secara seksual atau setidaknya pada awalnya, sebelum akhirnya ditemukan atau mengalami transformasi.

Mulai banyak pembullyan verbal setelah tren ini terjadi. Istilah WC umum (dipakai ramai-ramai) dan istilah miris lainnya mulai terlontar. Ini menjadi semacam pekerjaan PSK dilegalkan. Bisa jadi, anak-anak yang lolos pantauan orang tua kepo dengan tren ini, dengan tidak bijak mengikutinya atau bahkan menganggap itu serius, ia benar-benar mempraktikkannya. 

Hilangnya rasa malu untuk memosting sesuatu yang sangat pribadi, bahkan yang mungkin dianggap aib di masa lalu, ke ribuan atau jutaan orang hanya demi sensasi, adalah hal yang sangat miris. Jika dulu aib adalah sesuatu yang harus ditutupi, kini media sosial seolah menjadi panggung untuk memamerkannya.

Pada akhirnya, tren S Line ini bukan hanya tentang seksualitas, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat, khususnya generasi muda di Indonesia saat ini, mulai mendefinisikan ulang batas antara privasi dan publik, antara kehormatan dan sensasi.

Tren S Line ini, baik disadari atau tidak, menjadi cerminan nyata dari perubahan nilai-nilai yang terjadi. Ini adalah alarm bagi kita untuk merenungkan kembali: sejauh mana kita akan membiarkan sensasi menggeser moralitas, dan bagaimana kita dapat memastikan bahwa ruang digital tetap menjadi tempat yang bertanggung jawab?

S Line bukan hanya sekadar tontonan, tetapi juga ajakan untuk berpikir ulang tentang batas-batas privasi dan bagaimana kita menilai orang lain berdasarkan pengalaman mereka. Ini adalah drama yang berani dan provokatif, yang membuat penonton kecanduan sekaligus mungkin merasa tidak nyaman dengan kebenaran yang disajikannya.

Christina Natalia Setyawati