Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Sherly Azizah
ilustrasi politik (pexels/Tara Winstead)

Saat musim kampanye tiba, atmosfer berubah menjadi ajang pesta janji. Politikus berlomba-lomba menampilkan program yang katanya akan membawa perubahan besar. Dari pendidikan gratis, peningkatan ekonomi rakyat kecil, hingga infrastruktur kelas dunia—semuanya terasa begitu menggiurkan. Namun, ketika kursi kekuasaan sudah diraih, janji-janji tersebut perlahan menguap seperti embun di pagi hari. Pertanyaannya, mengapa masyarakat tetap mudah percaya meski sudah berkali-kali dikecewakan?

Salah satu alasan utama adalah pola komunikasi politik yang terlalu lihai membungkus retorika manis. Dengan bantuan konsultan, tim kampanye mampu membaca emosi masyarakat, menyajikan janji yang sesuai keinginan massa. Misalnya, saat perekonomian sedang lesu, tiba-tiba muncul kandidat yang menjanjikan lapangan kerja berlimpah tanpa menjelaskan langkah-langkah konkret untuk mencapainya. Akibatnya, masyarakat yang lelah dengan kondisi saat ini memilih untuk menggantungkan harapan pada janji tersebut, meski tahu bahwa itu terdengar terlalu indah untuk menjadi nyata.

Di sisi lain, rendahnya literasi politik masyarakat juga menjadi celah bagi para politikus untuk terus mengulang pola yang sama. Banyak pemilih tidak memahami bagaimana menonton realisasi janji-janji kampanye atau bahkan tidak tahu bahwa mereka punya hak untuk berkomentar. Dalam banyak kasus, janji kampanye dianggap sebagai “hiburan politik” yang tidak benar-benar akan diwujudkan, namun tetap dipercaya karena adanya alternatif lain.

Media sosial juga memiliki andil besar dalam perpanjangan siklus ini. Politikus sekarang bisa memanfaatkan platform seperti Instagram atau TikTok untuk menciptakan citra diri yang sempurna. Konten seperti blusukan di pasar, bertemu rakyat kecil, atau makan di warung kaki lima sering dianggap cukup sebagai bukti bahwa kandidat peduli pada rakyat. Padahal, tindakan-tindakan ini lebih sering bersifat kosmetik daripada substansial.

Namun, terkait hal ini tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat. Dalam banyak kasus, harapan akan perubahan adalah satu-satunya yang mereka punya. Ketika hidup sehari-hari penuh dengan tantangan, janji kampanye, meski hanya sebatas ucapan, bisa menjadi hiburan psikologis. Ini semacam mekanisme penanggulangan kolektif, di mana rakyat mencoba meyakinkan diri mereka sendiri bahwa masa depan bisa lebih baik, meski sering terjadi sebaliknya.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar pola ini tidak terus berulang? Salah satunya adalah memperkuat literasi politik masyarakat melalui pendidikan formal maupun nonformal. Pemilih harus belajar untuk mencapai titik kritis, menggali rekam jejak kandidat, dan tidak mudah percaya pada janji tanpa bukti konkrit. Selain itu, perlu adanya mekanisme pengawasan yang lebih tegas terhadap realisasi janji kampanye, misalnya melalui pelaporan yang transparan oleh lembaga independen.

Masyarakat juga harus sadar bahwa perubahan tidak hanya bisa digantungkan pada seorang pemimpin. Demokrasi adalah kerja kolektif; kita semua punya peran untuk memastikan bahwa janji tidak hanya berhenti pada kata-kata manis. Jika tidak, siklus harapan dan kekecewaan ini akan terus terulang, menjadikan kita korban yang sama di setiap pemilu.

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Sherly Azizah