Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi Gadget di Tangan, Keluarga di Angan: Paradoks Kemajuan Teknologi (pexels/Tima Miroshnichenko)

Teknologi telah membawa kita melampaui batas yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dengan satu sentuhan, kita bisa berbicara dengan orang di belahan dunia lain, bekerja dari rumah, dan mengakses hiburan tanpa henti.

Namun, di balik kemudahan tersebut, ada harga yang harus dibayar: kedekatan emosional dalam keluarga sering menjadi korban dari kecanggihan teknologi. Apakah harga ini pantas dibayar demi kemajuan?

Salah satu fenomena yang paling jelas adalah kehadiran gadget di meja makan keluarga. Dulu, momen makan bersama adalah waktu untuk berbagi cerita, keluh kesah, dan tawa.

Kini, pemandangan yang sering kita lihat adalah setiap anggota keluarga sibuk dengan layar masing-masing. Interaksi nyata tergantikan oleh scrolling tanpa akhir di media sosial. Bukannya mendekatkan, teknologi justru menciptakan jarak emosional yang tidak kasat mata.

Ironisnya, teknologi diciptakan untuk mempermudah komunikasi. Namun, dalam praktiknya, hal ini sering kali menyebabkan kebiasaan komunikasi yang dangkal.

Contohnya, banyak orang lebih memilih mengirim pesan singkat kepada anggota keluarga daripada secara langsung. Apalagi di satu rumah, percakapan sederhana seperti “Sudah makan?” atau “Apa kabar hari ini?” sering digantikan oleh emoji di grup keluarga.

Kemajuan teknologi juga mempengaruhi pola hubungan antargenerasi. Anak-anak generasi Alpha yang tumbuh bersama perangkat pintar cenderung lebih memahami teknologi daripada orang tua mereka.

Akibatnya, terjadi kesenjangan komunikasi karena orang tua merasa tertinggal dan anak-anak merasa tidak dimengerti. Hal ini berisiko memperbesar kesenjangan di antara anggota keluarga, membuat mereka berjalan di jalur masing-masing tanpa keterhubungan yang mendalam.

Namun, apakah ini sepenuhnya salah teknologi? Tidak juga. Masalah utamanya adalah bagaimana kita menggunakan teknologi tersebut. Teknologi hanyalah alat. Ketika digunakan dengan bijak, teknologi dapat menjadi penghubung yang kuat.

Contohnya, video call memungkinkan keluarga yang jauhan tetap terhubung, atau aplikasi berbagi kalender membantu menyinkronkan aktivitas keluarga. Sayangnya, kita sering kali terjebak dalam penggunaan teknologi yang pasif dan tidak disadari.

Untuk mengatasi tantangan ini, langkah pertama adalah kesadaran. Keluarga perlu menciptakan waktu khusus tanpa gawai, seperti waktu keluarga di akhir pekan atau zona bebas teknologi di meja makan.

Selain itu, penting untuk memprioritaskan komunikasi langsung dan saling mendengarkan dengan penuh perhatian. Teknologi seharusnya mendukung, bukan menggantikan hubungan antaranggota keluarga.

Pertanyaan besar tetap ada: apakah kita bersedia menyesuaikan cara kita menggunakan teknologi demi menjaga keharmonisan keluarga?

Jika tidak, kita mungkin akan terus maju dalam kecanggihan teknologi, namun mundur dalam kualitas hubungan kemanusiaan. Ketika hal itu terjadi, kita harus bertanya kembali, apakah kemajuan ini benar-benar layak untuk dirayakan?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah