Ketika musim pemilu tiba, papan reklame dan spanduk calon pemimpin menghiasi sudut-sudut kota. Namun, di tengah hiruk pikuk kampanye, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita memilih berdasarkan program yang ditawarkan, atau hanya terpikat pada nama besar dan wajah yang sering muncul di layar kaca?
Di banyak daerah, kandidat sering kali menjadi faktor penentu kemenangan. Kandidat dengan latar belakang selebritas, keluarga terpandang, atau figur yang aktif di media sosial memiliki daya tarik instan. Sayangnya, popularitas sering kali tidak berbanding lurus dengan kapabilitas atau visi untuk membawa perubahan. Akibatnya, masyarakat sering terjebak dalam pilihan yang lebih berlandaskan emosi daripada logika.
Pendidikan pemilih menjadi kunci untuk memutus siklus ini. Dengan memberikan informasi yang jelas dan terukur, masyarakat dapat memahami perbedaan antara janji manis dan program kerja yang realistis. Misalnya, apakah kandidat memiliki rencana yang konkret untuk mengatasi masalah utama seperti kemiskinan, kesehatan, atau infrastruktur? Ataukah mereka hanya mengandalkan slogan kosong yang mengundang sorak-sorai tetapi tanpa substansi?
Pentingnya edukasi ini tidak hanya terletak pada penyampaian informasi, tetapi juga pada cara masyarakat menganalisis data tersebut. Pemilih harus diajak untuk kritis, mengambil bagaimana program akan dijalankan, dari mana sumber dananya, dan dampaknya dalam jangka panjang. Tanpa kemampuan berpikir kritis, program kerja yang hanya indah di atas kertas bisa menipu banyak orang.
Peran lembaga pendidikan, media, dan organisasi masyarakat sangat penting dalam menciptakan pemilih yang cerdas. Workshop, diskusi publik, hingga infografik yang menarik bisa menjadi cara untuk memperkenalkan isu-isu krusial dan membandingkan program kandidat secara objektif. Media sosial juga dapat menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan edukasi, meski harus diimbangi dengan pengawasan terhadap berita hoaks.
Pemilu bukanlah tentang siapa yang paling dikenal, namun siapa yang paling mampu membawa solusi nyata. Masyarakat perlu disadarkan bahwa memilih kandidat bukan seperti memilih idola, tetapi memilih seseorang yang akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, pendidikan pemilih bukan hanya tugas penyelenggara pemilu, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
Artikel Terkait
-
Mengurai Jerat Hoaks di Panggung Pemilu: Strategi Licik yang Masih Laku
-
Kawal Program Makan Bergizi Gratis, BGN Tempatkan Ahli Gizi di Seluruh Indonesia
-
Mengenal Asal Usul Serangan Fajar, Praktik Politik Uang yang Merusak Demokrasi
-
Mengintip Uji Coba Program Makan Bergizi Gratis di Lingkungan Sekolah Lanud Halim Perdanakusuma
-
Pilkada Perdana Papua Tengah: Logistik 80% Terdistribusi, KPU Optimis Sukses
Kolom
-
Pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali: Antara Penataan Malioboro dan Nasib Masyarakat
-
Kopinya Mahal, Tapi Gaji Barista Tetap Pas-pasan
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
-
Krisis Kepercayaan Publik: Rakyat Dapat Apa dari Reshuffle Kabinet?
-
Menagih Kembali Tuntutan Rakyat 17+8, Sudah Sejauh Mana?
Terkini
-
Anchor Bikin Candu: Posisi Idaman dalam Futsal
-
Liburan ala Gen Z di Jogja: 6 Spot Hits yang Wajib Masuk Itinerary
-
Comeback, Liu Te Dikabarkan Bintangi Mini Drama Promise You The Stars
-
Centil Bukan Genit: Gaya Ekspresi Diri Perempuan di Tren My Centil Era
-
Isu Raffi Ahmad Bakal Gantikan Dito Sebagai Menpora Mencuat, Pendidikan Siapa Lebih Tokcer?