Pemilu, yang seharusnya menjadi ajang adu visi dan gagasan, sering kali berubah menjadi panggung drama penuh intrik. Di balik spanduk dan orasi, ada taktik-taktik kotor yang dimainkan, salah satunya melalui kampanye hitam dan hoaks.
Informasi yang sengaja dibuat palsu untuk menyerang lawan politik, menyebarkan berbagai racun yang merusak kepercayaan publik.
Bukannya memusatkan perhatian pemilih pada kebenaran, praktik ini justru menjauhkan kita dari esensi demokrasi. Apakah strategi ini masih bisa dihentikan, atau sudah menjadi bagian dari budaya politik kita?
Fenomena kampanye hitam bukanlah hal baru di dunia politik. Dari tuduhan korupsi yang belum tentu benar hingga rumor skandal pribadi, semua digunakan untuk menyerang kredibilitas lawan.
Sayangnya, di era digital, penyebaran informasi palsu semakin mudah dan cepat. Media sosial menjadi ladang pinggiran bagi kampanye hitam, ribuan akun anonim memanfaatkan algoritma untuk mempengaruhi persepsi publik.
Ironisnya lagi, hoaks ini sering disamarkan sebagai “fakta” yang sulit dibedakan. Banyak masyarakat yang terjebak karena kurangnya literasi digital, sehingga mereka lebih mudah percaya pada informasi yang viral.
Tanpa verifikasi, berita palsu ini menyebar luas dan membentuk opini negatif yang sulit diperbaiki. Di sini, hoaks tidak hanya menyerang kandidat tertentu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu itu sendiri.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Idealnya, platform digital dan penyelenggara pemilu harus bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Namun, kenyataannya tidak melupakan hal itu.
Platform penyedia sering kali berdalih bahwa mereka hanya menyediakan wadah, bukan pengawas. Sementara itu, penyelenggara pemilu terbatas pada otoritas hukum di dunia nyata, bukan dunia maya. Celah ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin bermain kotor.
Masyarakat juga memegang peran penting. Penting bagi setiap individu untuk skeptis terhadap informasi yang beredar, terutama yang berbau sensasi.
Edukasi literasi digital menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi dampak hoaks. Dengan kemampuan memilah informasi, masyarakat bisa menjadi benteng terakhir melawan penyebaran kampanye hitam.
Namun, pertanyaan besarnya adalah, mengapa kampanye hitam dan hoaks terus digunakan? Jawabannya sederhana, karena sering kali berhasil.
Strategi ini terbukti mampu mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu penting, seperti program kerja dan visi kandidat. Selama masyarakat masih mudah terpecah oleh isu-isu negatif, praktik ini akan terus berlanjut.
Pemilu adalah momen penting untuk menentukan arah masa depan suatu daerah. Jika diracuni oleh kampanye hitam dan hoaks, demokrasi kehilangan esensinya.
Oleh karena itu, semua pihak—kandidat, penyelenggara, platform digital, dan masyarakat—harus bersatu untuk melawan praktik kotor ini. Karena tanpa kejujuran, pemilu hanya menjadi permainan tanpa arti.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
Artikel Terkait
-
Mengenal Asal Usul Serangan Fajar, Praktik Politik Uang yang Merusak Demokrasi
-
Tersesat di Dunia Maya: Literasi Digital yang Masih Jadi PR Besar
-
Pilkada Perdana Papua Tengah: Logistik 80% Terdistribusi, KPU Optimis Sukses
-
KPI Ungkap Potret Beratnya Langkah Perempuan di Kancah Politik: Banyak yang Diajak 'Staycation' Pimpinan Parpol
-
Jam Berapa TPS Buka Untuk Mencoblos di Pilkada 27 November 2024?
Kolom
-
Sejuta Penonton, Seharusnya Bisa Lebih untuk Film Nasionalisme yang Membumi
-
Komunitas Buku sebagai Safe Space: Pelarian dari Kegaduhan Dunia Digital
-
Bukan Lagi Panjat Pinang, Begini Cara Gen Z Rayakan HUT RI di Era Digital
-
Bedanya Film Horor Berkualitas dan yang Busuk
-
UU Minerba: Belenggu Baru di Tengah Seruan Merdeka untuk Bumi
Terkini
-
Masuk 5 Besar, MotoGP Austria 2025 Jadi Balapan Terbaik Enea Bastianini?
-
Film Sisu 2 Pamerkan First Look, Siap Tayang November Mendatang
-
Ulasan Novel Snoop: Dilema Privasi di Balik Layar Teknologi
-
Timnas U-17 Gelar TC di Bulgaria, Kode akan Banyak Pemain Keturunan Gabung?
-
Sinopsis Spying, Drama Thriller China Terbaru Xiao Zhan dan Zhou Yu Tong