Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Ilustrasi situasi di ruang wawancara kerja (Freepik/yanalya)

Banyak orang percaya bahwa wawancara kerja adalah tahap paling penting dalam proses seleksi. Sebagai pintu masuk menuju pekerjaan impian, wawancara sering dianggap mampu memberikan gambaran lengkap tentang seorang kandidat.

Namun, benarkah penilaian dalam waktu singkat itu cukup adil? Nyatanya, tidak sedikit orang yang sebenarnya sangat kompeten di tempat kerja justru gagal dalam wawancara karena rasa gugup atau ketidakmampuan menjawab pertanyaan dengan lancar.

Kegugupan saat wawancara adalah hal yang umum terjadi. Menurut survey oleh JDP--perusahaan Amerika yang menyediakan layanan penyaringan latar belakang dan survei terkait dunia kerja--yang dilakukan terhadap 2000 kandidat menunjukkan bahwa 93% kandidat mengalami kecemasan selama wawancara kerja.

Pikiran yang tiba-tiba kosong, rasa tertekan, atau takut gagal bisa membuat seseorang kesulitan menunjukkan kualitas terbaiknya.

Padahal, kemampuan berbicara lancar di ruang wawancara tidak selalu mencerminkan kemampuan kerja nyata seseorang di lapangan.

Di sisi lain, ada kandidat yang pandai bicara dan bisa meyakinkan pewawancara, meskipun kinerja mereka di tempat kerja nantinya mungkin tidak sesuai ekspektasi. 

Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah wawancara adalah metode yang tepat untuk menilai kemampuan kerja seseorang?

Proses seleksi berbasis wawancara cenderung lebih menguntungkan mereka yang memiliki kepercayaan diri tinggi dan mahir menyampaikan ide, sementara orang-orang dengan potensi kerja luar biasa tetapi kurang pandai berbicara sering kali terabaikan.

Salah satu usulan yang menarik perhatian saya yang diutarakan oleh seseorang di media sosial adalah sistem pelatihan kerja singkat atau training, misalnya satu bulan, sebelum kandidat diterima secara resmi.

Mungkin saja dengan cara ini, perusahaan bisa menilai kemampuan mereka secara langsung di lingkungan kerja nyata.

Sistem ini memberikan kesempatan bagi kandidat untuk membuktikan kinerja mereka, bukan sekadar berbicara tentang potensi atau pengalaman mereka di atas kertas.

Namun, bukan berarti wawancara tidak memiliki nilai sama sekali. Lewat wawancara, perusahaan bisa mengamati bagaimana seseorang berpikir, berkomunikasi, dan beradaptasi dengan tekanan situasi.

Meski begitu, jika proses seleksi hanya mengandalkan wawancara, hasilnya bisa tidak seimbang. Beberapa kemampuan penting, seperti ketekunan, tanggung jawab, atau kerja sama tim, sulit terlihat hanya dari percakapan singkat.

Proses seleksi sepatutnya lebih memperhatikan keadilan bagi semua kandidat. Menggabungkan wawancara dengan metode penilaian lain, seperti uji praktik atau program magang singkat, dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap.

Dengan pendekatan ini, perusahaan tidak hanya menemukan kandidat terbaik, tetapi juga memberikan peluang yang lebih adil kepada mereka yang mungkin kesulitan menunjukkan potensi mereka dalam wawancara.

Pada akhirnya, dunia kerja membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata meyakinkan di ruang wawancara. Dibutuhkan orang-orang yang mampu bekerja, beradaptasi, dan memberikan kontribusi nyata bagi perusahaan.

Proses seleksi yang lebih beragam dan manusiawi akan memastikan bahwa setiap potensi berharga tidak terlewat begitu saja.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta