Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | idra Fania
Ilustrasi seseorang bermain media sosial (Freepik.com/wayhomestudio)

Dalam kondisi saat ini, media sosial menjadi bagian fundamental dari eksistensi generasi muda. Instagram, TikTok, dan Snapchat tidak hanya berkembang menjadi platform bercerita tetapi juga menampilkan gaya hidup, kecantikan, dan pencapaian pribadi.

Namun, di balik feed dan filter yang menarik terdapat serangkaian standar kecantikan yang dapat sangat memengaruhi cara remaja memandang diri mereka sendiri. Hal ini membuat kita bertanya-tanya: apakah media sosial merupakan sumber positif, atau justru melemahkan harga diri generasi muda?

Standar Kecantikan yang Sulit Dijangkau

Platform media sosial telah memperkenalkan cita-cita kecantikan baru yang sering kali tidak realistis. Mulai dari kulit yang terlihat sempurna hingga tubuh yang mengikuti tren tertentu, standar-standar ini dikomunikasikan kepada pengguna dengan cara yang halus.

Sayangnya, cita-cita ini sering kali merupakan hasil dari penyempurnaan visual, termasuk filter dan retouching foto. Hal ini menyebabkan banyak anak muda yang merasa penampilannya tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya di layar kaca.

Karena scrolling sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, paparan konten semacam itu dapat menumbuhkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri.

Mereka yang tidak mematuhi standar kecantikan ini mungkin bergumul dengan rasa tidak aman dan mempertanyakan harga diri mereka.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health menunjukkan bahwa platform seperti Instagram memiliki dampak paling negatif terhadap kesehatan mental kaum muda, yang menyebabkan peningkatan kecemasan dan penurunan harga diri.

Pengaruh Filter dan Tren Viral

Filter dan tren viral sangat penting dalam membentuk persepsi kecantikan di media sosial. Fitur seperti “kulit sempurna” dan “peningkatan garis rahang” memungkinkan pengguna mendapatkan penampilan yang “sempurna” dalam sekejap.

Namun, seiring dengan populernya filter ini, banyak anak muda mulai membandingkan diri mereka yang sebenarnya dengan versi yang disempurnakan ini.

Perbandingan ini dapat menimbulkan ketidakpuasan terhadap penampilan alami mereka, yang pada akhirnya berdampak pada harga diri mereka secara keseluruhan.

Tren viral seperti tantangan glow-up dan transformasi tubuh meningkatkan tekanan ini. Meskipun bertujuan untuk menginspirasi, tidak semua orang memiliki waktu, sumber daya, atau keadaan untuk mencapai transformasi ini. Ketika harapan tidak terpenuhi, hal ini dapat menimbulkan perasaan gagal bagi banyak orang.

Kepercayaan Diri dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

Penting untuk menyadari dampak serius dari rendahnya harga diri yang disebabkan oleh standar kecantikan media sosial.

Ketika kaum muda mulai mempertanyakan harga diri mereka, hal ini dapat berdampak pada banyak aspek kehidupan mereka, termasuk hubungan sosial, produktivitas, dan kesehatan mental.

Perasaan ragu-ragu yang terus-menerus dapat mengakibatkan masalah yang parah seperti gangguan makan, depresi, dan keinginan untuk menjalani operasi kosmetik agar sesuai dengan standar yang dianggap “normal”.

Menariknya, media sosial berpotensi memberdayakan individu. Belakangan ini, gerakan-gerakan yang fokus pada body positivity dan body neutrality mulai bermunculan.

Konten yang mendorong penerimaan diri dan kecintaan terhadap semua tipe tubuh menghadirkan alternatif menyegarkan terhadap standar kecantikan yang terbatas. Sayangnya, pesan-pesan positif tersebut sering kali dibayangi oleh konten-konten yang lebih menarik perhatian.

Ide untuk Mengatasi Tekanan Standar Kecantikan

Mengingat dampak signifikan yang dimiliki media sosial, penting bagi kita memikirkan langkah-langkah untuk menciptakan ruang online yang lebih sehat.

Salah satu ide yang efektif adalah meningkatkan ketersediaan konten pendidikan yang mengajarkan generasi muda tentang mekanisme media sosial, termasuk filter dan manipulasi foto.

Dengan meningkatkan kesadaran akan “ilusi kesempurnaan” ini, kita dapat membantu mereka mengembangkan perspektif kecantikan yang lebih realistis.

Terakhir, pengaruh influencer tidak bisa dianggap remeh. Ketika mereka berbicara jujur tentang pengalaman mereka dengan standar kecantikan, hal itu mengirimkan pesan yang kuat. Kaum muda harus menyadari bahwa orang yang mereka kagumi pun tidak sesempurna yang terlihat dalam sorotan.

Selain itu, pendidikan juga mempunyai arti penting. Sekolah harus memprioritaskan diskusi tentang kesehatan mental dan pengaruh media sosial dalam kurikulum mereka. Hal ini akan memberdayakan individu muda untuk menghadapi tantangan-tantangan ini dengan rasa percaya diri yang meningkat.

Kesimpulan: Memulihkan Kepercayaan Diri di Era Digital

Media sosial mempunyai pro dan kontra. Hal ini menawarkan ruang kreatif dan kesempatan untuk mengekspresikan diri, namun juga memberikan tekanan dari standar kecantikan yang tidak realistis.

Namun, dengan kesadaran yang lebih baik dan dorongan kolektif untuk menciptakan narasi yang lebih inklusif, media sosial dapat memberdayakan generasi muda dibandingkan membuat mereka merasa tidak mampu.

Dalam dunia yang kompetitif di era digital, rasa percaya diri menjadi modal krusial yang harus kita jaga. Sebuah langkah penting dalam perjalanan ini adalah menyadari bahwa tidak ada orang yang benar-benar sempurna, dan itu tidak masalah.

Dengan menerima diri sendiri, kita tidak hanya melindungi kesehatan mental kita tetapi juga memberikan contoh positif bagi generasi mendatang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

idra Fania