Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Dony Marsudi
Ilustrasi senioritas di perkuliahan (Pexels/Yan Krukau)

Masuk dunia perkuliahan sering disebut sebagai salah satu fase paling seru dalam hidup. Tapi, nggak bisa dipungkiri juga kalau di balik semua keseruannya, ada sisi gelap yang kadang bikin mahasiswa baru deg-degan. Yup, apalagi kalau bukan soal senioritas.

Buat kamu yang baru masuk kampus, mungkin sudah familiar dengan cerita-cerita seram soal ospek atau aturan tak tertulis dari kakak tingkat alias senior. Ada yang menganggap ini tradisi biasa, tapi ada juga yang mulai mempertanyakan, sebenarnya budaya senioritas di kampus itu baik atau justru bikin nggak nyaman?

Senioritas, Tradisi Lama yang Masih Bertahan

Senioritas di kampus sering kali dianggap sebagai cara untuk melatih kedisiplinan dan membentuk mental mahasiswa baru. Namun, kenyataannya nggak sesederhana itu. Banyak mahasiswa yang merasa tekanan dari senior lebih menyerupai bentuk intimidasi daripada pembelajaran.

Misalnya, mahasiswa baru dipaksa mengikuti aturan absurd, seperti harus hormat berlebihan pada senior atau dilarang memanggil nama mereka langsung. Nggak jarang juga ada kasus junior harus melayani senior, seperti jadi tukang belanja atau kurir makanan.

Bukannya bikin akrab, perlakuan seperti ini malah bikin mahasiswa baru canggung dan takut. Alih-alih merasa nyaman, mereka jadi overthinking setiap kali berhadapan dengan senior.

Dampak Buruk Senioritas untuk Mahasiswa

Budaya senioritas sering kali lebih banyak bikin masalah daripada manfaat. Salah satu efek buruknya, mahasiswa baru jadi sering ketakutan tanpa alasan yang jelas. Rasa hormat yang diinginkan senior juga sering lahir karena tekanan, bukan karena keikhlasan.

Alhasil, hubungan antara senior dan junior jadi serba canggung dan jauh dari kata nyaman. Bahkan, komunikasi sering terhambat karena junior takut dianggap nggak sopan kalau terlalu santai atau jujur.

Nggak cuma itu aja, senioritas yang berlebihan juga bikin suasana kampus jadi nggak sehat. Tradisi yang maksa junior nurut sama aturan mereka, terkadang malah menciptakan lingkungan toxic yang jauh dari rasa adil.

Banyak mahasiswa baru yang akhirnya merasa tertekan, sampai takut buat menyuarakan pendapat atau bertindak sesuai pemikiran mereka sendiri.

Seharusnya, fokus utama kampus adalah menciptakan ruang belajar yang mendukung semua pihak, bukan tempat yang memperumit kehidupan mahasiswa dengan tradisi yang membebani.

Apakah Senioritas Masih Relevan di Era Sekarang?

Beberapa orang mungkin berargumen kalau senioritas adalah cara untuk menjaga tradisi dan solidaritas kampus. Tapi, bukankah ada banyak cara lain yang lebih positif? Misalnya, dengan mengadakan acara yang mendorong kolaborasi antara senior dan junior, seperti kegiatan mentoring atau komunitas diskusi.

Di era sekarang, kesetaraan semakin diperjuangkan, sudah waktunya kita mengevaluasi ulang budaya seperti ini. Kampus seharusnya menjadi tempat untuk tumbuh, belajar, dan mengembangkan diri, bukan tempat mahasiswa merasa tertindas oleh aturan-aturan yang nggak masuk akal.

Budaya senioritas di kampus memang sudah ada sejak lama, tapi bukan berarti kita harus terus memeliharanya tanpa mempertimbangkan dampaknya. Sebagai mahasiswa, kita punya hak untuk belajar di lingkungan yang mendukung dan bebas dari tekanan yang nggak perlu.

Jadi, kalau kamu merasa ada yang salah dengan budaya ini, jangan ragu untuk bersuara. Siapa tahu, perubahan kecil dari kita bisa membawa dampak besar untuk generasi mahasiswa berikutnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Dony Marsudi