Membaca seharusnya menjadi pelarian yang menenangkan, sebuah aktivitas personal yang memperkaya tanpa tekanan. Namun belakangan, di tengah komunitas literasi, membaca justru sering berubah menjadi sumber stres baru. Bukan karena kesulitan membaca buku, melainkan karena tekanan sosial yang muncul dari berbagai kompetisi dan pencapaian yang harus diraih di media sosial.
Ada satu istilah yang cocok untuk menggambarkan kondisi ini, yaitu FOMO literasi. Rasa takut ketinggalan dalam aktivitas membaca. Fenomena ini tumbuh subur di tengah budaya media sosial yang menuntut kita selalu terlihat pintar, produktif, dan tentunya, keren di mata warganet—bahkan saat cuma sedang membaca buku.
Bukan Lagi Dibaca, Buku Kini Dipakai Pamer Gaya
Komunitas pencinta buku di media sosial, menunjukkan popularitas luar biasa dengan jutaan unggahan. Estetika khas seperti foto buku rapi dengan minuman atau kutipan inspiratif sering mendominasi. Namun, di balik tampilan yang apik ini, banyak anggota komunitas mengaku merasa tertekan untuk terus membaca dan berbagi demi menjaga citra sebagai pembaca aktif, khawatir dianggap tidak produktif atau ketinggalan zaman jika tidak konsisten.
Membaca seharusnya menjadi ruang untuk merenung dan memahami. Tapi dunia digital tak memberi waktu untuk itu. Algoritma lebih suka angka—berapa buku yang selesai, secepat apa dibaca, dan siapa yang paling duluan tahu buku terbaru. Mendadak, aktivitas membaca berubah jadi ajang kejar-kejaran.
Banyak orang semangat membuat daftar bacaan demi terlihat produktif. Tapi bukannya makin rajin membaca, daftar itu malah berubah jadi beban yang bikin kepala penuh. Baru baca beberapa halaman, sudah kepikiran tumpukan buku lain yang belum dibuka. Parahnya lagi, keresahan ini bukan murni dari diri sendiri—tapi muncul karena tekanan sosial halus dari komunitas baca dan algoritma medsos yang terus "mengompori".
Di dunia pendidikan pun, tren ini mulai ikut menular. Di kalangan mahasiswa atau pelajar yang aktif di komunitas buku online, membaca perlahan bergeser makna—bukan lagi soal memperkaya wawasan, tapi jadi ajang unjuk diri. Ada yang merasa ‘kurang keren’ kalau belum bisa menamatkan 30 sampai 50 buku dalam setahun. Kok jadi kayak lomba lari yang nggak ada garis finisnya, ya?
Dampak Kesehatan Mental yang Kian Nyata
Dampaknya ternyata serius. Perasaan FOMO dalam aktivitas yang seharusnya menyenangkan bisa menggerogoti kepercayaan diri, mengurangi kebahagiaan, bahkan memicu kecemasan. Yang awalnya jadi pelepas lelah, malah berubah jadi beban pikiran terselubung.
Di media sosial, tren pamer kebiasaan membaca sering kali sekadar membentuk citra semu. Banyak yang ingin kelihatan intelek, padahal bukunya aja belum tentu dibuka. Sayangnya, di ranah sosial, yang dihargai sering kali hanya tampilan luarnya saja.
Memang, nggak semua unggahan soal literasi di media sosial itu negatif. Banyak juga yang akhirnya jadi semangat baca lagi, ketemu komunitas pembaca yang suportif, atau nemuin buku-buku keren yang sebelumnya nggak kepikiran buat dilirik. Tapi, batas antara motivasi dan tekanan sosial itu tipis banget. Kadang, semuanya bergantung pada niat awal kita: buat berbagi atau sekadar ikut tren.
Mungkin sudah saatnya kita belajar untuk memperlambat langkah. Kembalikan budaya membaca menjadi momen pribadi, bukan ajang pamer di depan orang lain. Tidak masalah jika sebuah buku baru bisa selesai dalam dua bulan. Tidak perlu merasa kalah kalau lebih nyaman mengulang cerita lama seperti Sang Pemimpi daripada buru-buru ikut tren buku viral. Sebab, membaca itu bukan soal seberapa cepat atau seberapa banyak, tapi tentang bagaimana kita benar-benar menyelami dan merasakan setiap kata.
Di era serba cepat dan penuh distraksi, membaca dengan perlahan adalah pilihan sunyi yang bermakna. Mungkin justru di situlah letak kenikmatan sejatinya—bukan pada seberapa banyak buku yang ditamatkan, tapi pada jeda-jeda yang memberi ruang untuk merenung. Bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dinikmati dalam diam, antara diri sendiri dan tiap halaman yang diam-diam mengajak bicara.
Baca Juga
-
Full Day School: Solusi Pendidikan atau Beban bagi Siswa?
-
Dari Rasa Ingin Tahu hingga Kecanduan: Apa Alasan Orang Memakai Narkoba?
-
Apa yang akan Terjadi dengan Kehidupan Manusia Jika Tidak Ada Ilmu Fisika?
-
Sistem Ranking di Sekolah: Memotivasi Atau Justru Merusak Mental Siswa?
-
Ironi Hadirnya TikTok: Hiburan yang Membawa Dampak Bagi Generasi Muda
Artikel Terkait
-
FOMO Tren Olahraga Gen Z: Sehat Beneran atau Sekadar Gaya di Media Sosial?
-
Swipe, Checkout, Nyesel: Budaya Konsumtif dan Minimnya Literasi Keuangan
-
Membaca Buku Jadi Syarat Lulus: Langkah Maju, Asal Tak Hanya Formalitas
-
Digitalisasi dan AgenBRILink Jadi Strategi BRI untuk Inklusi Keuangan
-
Sekolah Jadi Formalitas, Anak Makin Bingung, Sistem Pendidikan Kita Mabuk!
Kolom
-
Tarif AS Turun, tapi Harus Beli Pesawat dan Pangan: Adilkah Kesepakatan Ini?
-
Kilat 17 Menit, Dampak Bertahun-tahun: Diplomasi Dagang Prabowo-Trump
-
Wacana Ibu Rumah Tangga Produktif Diabaikan dalam Narasi Ekonomi RI?
-
Potensi Wisata Lokal Padukuhan Kunang di Gunungkidul
-
Jadi Ketua RT Bukan Cuma Urusan Bapak-Bapak, Gen Z Siap Pegang Wilayah?
Terkini
-
5 Drama Korea Historical-Fantasy Paling Dinanti, Ada 'Bon Appetit, Your Majesty'
-
Ulasan Novel Your Party Girl: Romansa Seru si Playgirl dengan Cowok Kalem
-
Review Film Assalamualaikum Baitullah: Menyentuh dan Bikin Rindu Tanah Suci
-
Ole Romeny Cedera, Pengamat Soroti Kans Timnas Indonesia di Ronde Keempat
-
Usai Barbie, Ryan Gosling dan Will Ferrell Bakal Reuni di Film Tough Guys