Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Encil Puspitoningrum
lustrasi gen alpha (pexels/Anil Sharma)

Kalau ngomongin Gen Alpha, satu hal yang nggak bisa dihindari adalah dunia mereka yang penuh dengan fenomena viral. Dari dance challenge TikTok sampai meme yang tiba-tiba booming, semua tren bisa muncul dalam hitungan detik dan hilang secepat itu juga. Tapi di balik semua hype ini, muncul pertanyaan seperti, apakah Gen Alpha hanya peduli dengan hal-hal yang cepat viral, atau mereka juga bisa menghargai sesuatu yang mendalam?

Budaya viral memang punya daya tarik yang sulit ditolak. Siapa yang tidak berkumpul buat ikut tren jika semua orang di timeline juga ngelakuin hal yang sama? Gen Alpha tumbuh di era di mana “fomo” (takut ketinggalan) menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kalau tidak ikut tren terbaru, rasanya seperti ketinggalan zaman. Tapi masalahnya, tren yang bergulir cepat ini membuat mereka jarang punya waktu untuk mendalami sesuatu.

Ambil contoh musik atau film. Banyak karya yang jadi viral bukan karena kualitasnya, tapi karena gimmick atau kontroversi yang muncul di media sosial. Lagu yang catchy tapi hanya bertahan beberapa minggu, atau film yang jadi trending gara-gara review lucu di Twitter. Akibatnya, banyak yang mengonsumsi karya-karya ini hanya membuat ikut hype, tanpa benar-benar memahami atau menghargai pesan di baliknya.

Tapi, jangan buru-buru nge-judge Gen Alpha sebagai penghargaan rendah. Faktanya, mereka juga punya potensi untuk menciptakan perubahan positif melalui virus budaya. Tren yang mereka dukung bisa jadi alat untuk menyuarakan isu penting, mulai dari gerakan lingkungan hingga kampanye sosial. Dengan akses teknologi yang mereka punya, Gen Alpha bisa membuat sesuatu yang bermakna menjadi terkenal dalam waktu singkat.

Yang jadi tantangan adalah bagaimana mereka bisa memilah mana yang layak diikuti dan mana yang hanya tren kosong. Kalau terus-menerus fokus ke yang viral tanpa mempertimbangkan esensinya, Gen Alpha berisiko kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mendalami hal-hal yang penting. Di sisi lain, jika mereka bisa memanfaatkan fenomena viral untuk hal yang bermakna, ini bisa menjadi langkah maju yang besar.

Jadi, apakah fenomena viral ini membuat Gen Alpha jadi generasi yang inovatif atau malah sebaliknya? Jawabannya tergantung bagaimana mereka mengelola informasi yang begitu cepat datang dan pergi. Perlu ada edukasi, baik dari keluarga maupun lingkungan, tentang pentingnya menghargai sesuatu yang lebih dari sekedar trending.

Viralitas bukanlah musuh. Ini cuma alat yang bisa jadi pedang bermata dua. Kalau Gen Alpha belajar menggunakan alat ini dengan bijak, mereka bukan hanya akan menjadi generasi yang cepat konsumsi, tapi juga generasi yang mampu membawa kemajuan dengan cara yang segar dan relevan.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Encil Puspitoningrum