Indonesia kembali dihadapkan pada perdebatan seputar ekspansi kelapa sawit. Dalam pidatonya di Musrenbangnas RPJMN 2025-2029 di Kantor Bappenas, Senin (30/12/2024), Presiden Prabowo Subianto mengusulkan perluasan lahan sawit sebagai langkah strategis.
Alasannya sederhana, sawit adalah pohon, berdaun, dan mampu menyerap karbon dioksida. Namun, apakah benar sesederhana itu?
Data berbicara lain. Penelitian Carbon costs and benefits of Indonesian rainforest conversion to plantations (2018) menyebut konversi hutan hujan tropis menjadi kebun sawit mengurangi stok karbon secara signifikan.
Memang benar sawit menyerap karbon, tetapi tidak sebanding dengan hutan asli yang digantikannya. Jadi, jika ekspansi sawit terus didorong, bisakah kita benar-benar menutup mata terhadap deforestasi?
Prabowo juga menyinggung bahwa negara-negara lain khawatir kehabisan produk sawit Indonesia. Tapi, apakah ini cukup untuk mengabaikan dampak lingkungan yang lebih luas?
Riset Sawit Watch (2024) menunjukkan bahwa luas lahan sawit di Indonesia sudah melebihi batas maksimal, yakni mencapai 18,22 juta hektare. Ironisnya, sebagian besar lahan tersebut berada di zona yang tidak sesuai, seperti hutan lindung dan gambut.
Tak hanya soal lingkungan, pendekatan ini bisa menambah panjang daftar konflik agraria. Pada 2023 saja, tercatat ada 108 kasus konflik agraria di sektor perkebunan, dengan 82 persen terkait langsung dengan sawit.
Instruksi Presiden agar TNI/Polri menjaga kebun sawit hanya berpotensi memperburuk konflik, mengingat tindakan represif dalam sengketa tanah sering kali terjadi.
Kita juga perlu bertanya, apa sebenarnya harga yang harus dibayar masyarakat lokal? Perluasan lahan sawit sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan hak-hak adat dan keberlanjutan ekosistem.
Deforestasi memang "hanya" 14 persen dari total deforestasi tahun 2020, tapi dampaknya terhadap ekosistem dan keberlanjutan jauh lebih besar.
Langkah Prabowo menyebut sawit sebagai aset negara memang menarik, tetapi harus diimbangi dengan kebijakan yang berwawasan lingkungan.
Tidak cukup hanya menjaga kebun sawit, pemerintah juga harus memastikan keberlanjutan, baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Mengabaikan isu-isu ini sama saja dengan membangun masa depan rapuh.
Ekspansi kelapa sawit bisa saja menjadi kebanggaan nasional, tetapi bukan berarti kita harus menutup mata terhadap dampak buruknya.
Saatnya mengedepankan solusi yang lebih bijak, yang tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek tetapi juga keberlanjutan jangka panjang. Di sinilah pemerintah dituntut lebih dari sekadar berjanji, mereka harus bertindak dengan hati-hati.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
Artikel Terkait
-
Tantangan Jokowi Usai Rilis OCCRP Jadi Uji Nyali KPK dan Presiden Prabowo
-
Apakah PPN Jadi Naik 12%? Ini Penjelasan Detail Prabowo dan Sri Mulyani
-
Waketum PAN Minta Prabowo Tak Reaktif saat Dikritik: Melayani Orang Sinis Pasti Merugi!
-
Sosok Haji Isam Hingga Ditunjuk Prabowo Garap Proyek 1 Juta Ha Sawah
-
Baskara Hindia Sebut Saran Prabowo tentang Penambahan Kelapa Sawit Ngawur: Dicebokinnya Gimana?
Kolom
-
Sekolah Membunuh Rasa, Lalu Apa Kabar Kreativitas Kita?
-
Menggugat Obsesi Industri Film Perihal Debut Sutradara
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Ungkap Masalah Gizi MBG dan Luka di Meja Makan Sekolah, Apa Ada yang Salah?
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
Terkini
-
Resmi Menikah! Selena Gomez dan Benny Blanco Gelar Pesta Bertabur Bintang
-
Real atau AI? Foto Pratama Arhan dan Putri Azzralea Ramai Dibahas Warganet
-
Ayah Nissa Sabyan Buka Suara Soal Isu Kehamilan, Ini Faktanya!
-
Anti Kusam! 4 Brightening Sunscreen Niacinamide Harga Rp50 Ribuan
-
Sanksi FIFA dan Impian Malaysia Menuju Piala Asia 2027 yang Kini di Ujung Tanduk